Wednesday, September 22, 2021

Contoh Analisis SWOT dalam Warung Makan Sederhana

 

Sejarah Warung Makan Mbak Tik

(Misfikhotul Murdayanti)

Nama pemilik usaha warung makan ini yaitu lebih kerabnya dipanggil dengan panggilan Mbak Tik. Adapun berdirinya usaha kecil atau menengah ini sejak tahun 2005 atau empat belas tahun yang lalu. Lokasi warung makan ini berada di Jl Karonsih Selatan I, 275 B, Ngaliyan Semarang. Dengan jumlah karyawan sekitar 5 orang.

Jam operasi di Warung Makan Mbak Tik ini adalah mulai pukul 16.00 sampai pukul 23.00 WIB. Adapun menu di warung makan ini terdapat banyak paket menu makan diantaranya ada paket ayam bakar atau goreng, paket lele bakar atau goreng, paket telur, paket jamur, bahkan ada paket hemat yaitu paket tahu/ tempe, dan masih banyak menu lainnya.

Warung makan ini letaknya sangat strategis dimana mudah dijangkau untuk masyarakat umum dan bahkan banyak sekali mahasiswa yang berdatangan memenuhi kursi di warung makan ini. Selain harganya yang sesuai dengan kantong mahasiswa tidak menutup kemungkinan jikalau warung ini selalu dipenuhi oleh para mahasiswa.

Analisis SWOT

Kesimpulan dan Saran

Dari hasil wawancara yang kami dapatkan bahwa dari ketekunan, kegigihan seseorang serta kesabaran, dapat menghasilkan apa yang ia inginkan. Merintis usaha itu tidak harus dengan modal yang besar melainkan dengan kesungguhan dan pengelolaan dengan benar tidak juga berpendidikan tinggi tetapi dengan kemampuan keras, serta situasi dan keadaanlah yan membuat seseorang harus mengambil keputusan dan bertindak. Tetapi akan lebih sempurna seseorang dengan keinginan yang kuat disertai ilmu, dan pengalaman yang cukup akan sangat mendukung untuk usaha yang lebih baik dan lebih maju.

Saran

Kepada siapapun yang ingin membuka usaha jangan merasa pesimis dengan modal yang kecil, mulailah dari modal yang kecil dan kemauan yang keras serta bermunajat kepada Allah. Kritik dan saran yang mendukung serta membangun penulis harapkan untuk perbaikan penulisan ini.

Monday, December 10, 2018

INTERELASI ANTARA BUDAYA JAWA DAN ISLAM DALAM ASPEK KEPERCAYAAN DAN RITUAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama merupakan seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya mengatur manusia dengan Tuhannya, mengatur manusia dengan manusia yang lainnya, dan mengatur manusia dengan lingkungan. Adapun kebudayaan merupakan seperangkat pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, kesenian, yang dijadikan pedoman bertindak dalam memecahkan persoalan yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Budaya lokal merupakan budaya sebelum islam tersebar di Nusantara yakni budaya yang bersumberkan dari ajaran-ajaran agama Hindu-Budha yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk memodifikasikan Islam dengan kebudayaan Jawa telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil interelasi nilai Jawa Islam dengan nilai kepercayaan dan ritual Jawa.
Berbicara mengenai kebudayaan maka tidak akan terlepas dari yang namanya kepercayaan dan ritual. Untuk itu makalah ini akan membahas tentang interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam bidang kepercayaan dan ritual.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan agama dan budaya?
2.      Bagaimana proses akulturasi budaya jawa dan islam?
3.      Bagaimana interelasi antara budaya jawa dan islam dalam aspek  kepercayaan?
4.      Bagaimana interelasi antara budaya jawa dan islam dalam aspek  ritual?



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Agama dan Budaya
PENGERTIAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata “din” dari bahasa Arab dan kata “religi” dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti pergi, maka kata Agama dapat diartikan tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Sedangkan kata “Din” itu sendiri dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Adapula kata Religi yang berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat asalnya ialah “relegere” yang mengandung arti mengumpulkan, membaca dan dapat juga kata relegare juga bisa diartikan mengikat. Oleh karena itu agama adalah suatu ketetapan yang dibuat oleh Tuhan Yang Maha Esa secara mutlak atau tanpa adanya campur tangan siapa saja.
Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan adalah ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta “Buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan juga bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang mempunyai arti “daya” dan “budi”. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Sedangkan budaya sendiri adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.

UNSUR-UNSUR AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Unsur -unsur penting yang terdapat dalam Agama ialah:
1.      Unsur Kekuatan Gaib: Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu sendiri.
2.      Keyakinan Manusia: bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
3.      Respons yang bersifat Emosionil dari manusia: Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau perasaan cinta, seperti yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil bentuk  penyembahan yang terdapat dalam agama primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang besangkutan.

BENTUK-BENTUK AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Pada dasarnya bentuk Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Dinamisme, Animisme, Monoteisme dll.
Agama Dinamisme merupakan Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut “mana‟ dan dalam bahasa Indonesia “tuah atau sakti”. Agama Animisme ialah Agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Bagi masyarakat primitif roh masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda-benda tertentu adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan manusia. Misalnya, hutan yang lebat, pohon besar dan berdaun lebat, gua yang gelap dll. Sedangkan Agama Monoteisme ialah adanya pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Bentuk-bentuk Kebudayaan.
1.      Kebudayaan Islam
Islam berkembang sejak diutusnya seorang Rasul yang bernama Nabi Muhammad SAW, dimana ajaran-ajaran Islam sendiri masih sangat kental dan suci, namun sejalan dengan perkembangan dunia dan perubahan zaman, ajaran-ajaran Islam pun kian marak dijadikan sebuah Budaya yang akhirnya masyarakat sendiri sulit membandingkan antara Agama dengan Budaya.
Contohnya: Masalah busana muslim “Jilbab”, di zaman dahulu busana muslim atau jilbab adalah pakaian yang menutup aurat, pakaian longgar dan panjang, seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an An-Nur: 31 (Katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka). Sedangkan zaman sekarang jilbab menjadi sebuah model atau gaya yang mana tidak lagi melihat pada tuntunan Islam. Contoh lain: Pernikahan dahulu pernikahan cukup hanya dengan sebuah aqad nikah (ijab qobul) kemudian untuk memberitakan sebuah pernikahan hanyalah mengundang para tetangga atau saudara terdekat, itupun dalam suasana yang cukup sederhana, tetapi sekarang pernikahan bak sebuah pesta hajat yang besar, penggunaan adat istiadat pun dalam pernikahan kian marak terjadi dan akhirnya menjadi sebuah budaya yang sulit dihilangkan.
2.      Kebudayaan Romawi Timur 
Kerajaan Romawi didirikan pada tahun 753. Budaya Romawi pada umumnya beragama Nasrani. Dalam Kebudayaannya dikenal tiga muhzab yang termasyur yaitu:
a.        Mazhab Yaaqibah, yang bertebaran di Mesir, Habsyah Mazhab ini berkeyakinan bahwa Isa Almasih adalah Allah.
b.       Mazhab Nasathirah yang betebaran di Mesir, Irak, Persia.
c.        Mazhab Mulkaniyah, Kedua Mazhab ini berkeyakinan bahwa dalam diri Al-Masih terdapat dua tabiat yaitu: tabiat ketuhanan dan tabiat kemanusiaan.
3.      Kebudayaan Persia
Dalam sejarah kebudayaan Persia, masyarakatnya banyak yang menyembah berbagai alam nyata, seperti langit, cahaya, udara, air dan api. Api dilambangkan sebagai Tuhan baik, sehingga mereka menyembah api yang selalu dinyalakan didalam rumah
4.      Persia Kebudayaan Arab Jahilliyah
Disebut Arab Jahilliyah karena sebelum Islam datang mereka adalah pembangkang kepada kebenaran. Budaya orang-orang Arab Jahilliyah adalah menyembah berhala karena itulah mereka terus menentang kebenaran meski di ketahui dan didasari kebenarannya oleh mereka.[1]

HUBUNGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
1.      Agama merupakan bagian Kebudayaan
Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kemaatian dan membuat acara untuk menyambut peristiwa itu, demikian pula mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, pemburuan cara ia membuat alat-alat/pecah belah, pakaian, cara-cara untuk menghiasi rumah dan badannya itu semua termasuk kebudayaan, seperti juga kesenian, ilmu pengetahuan dan agama.
2.      Agama bukan-wahyu merupakan bagian dari kebudayaan
Klasifikasi agama kedalam dua jenis (agama alamiyan dan agama samawiyah). Berikut ciri pokok yang membedakannya secara tajam dimaksudkan untuk menhindari generalisasi dan mencampuradukan serta penyamarataan semua agama. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa agama tidak merupakan genus yang mempunyai spesies, akan tetapi kita berhadapan dengan dua gejala yaitu gejala alamiyah yang disebut agama budaya yang timbul dari kehidupan manusia sendiri dan agama Smawiyah atau wahyu yang diberikan Allah swt kepada manusia melalui Nbi dan Rosul-Nya.
3.      Agama Samawi bukan merupakan bagian kebudayaan
Berbeda dari pola pikiran diatas sebelumnya, terdapat kelompok pemikir yang mengatakan bahwa agama wahyu bukan merupakan bagian kebudayaan, mereka berpendapat bahwa agama samawi dan kebudayaan adalah berdiri sendiri-sendiri. Jadi: agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencangkup.
4.      Agama dan kebudayaan islam merupakan bagian dari Din Islam
Pola pemikiran ini di cetuskan dan di popolerkan oleh Sidi Gazalba.[2]


B.     Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Unsur budaya Islam tersebar di Jawa seiring dengan masuknya Islam di Indonesia. Secara kelompok dalam masyarakat Jawa telah mengenal unsur budaya Islam sejak mereka berhubungan dengan pedagang yang sekaligus menjadi mubaligh pada taraf penyiaran Islam yang pertama kali. Dalam teori ilmu sosial budaya, dua faktor penting yang berpengaruh dalam proses kebudayaan yaitu: pertama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat itu sendiri (internal forces). Kedua, merupakan kekuatan yang muncul dari luar (eksternal forces). Masing-masing faktor saling berpengaruh terhadap terjadinya proses perubahan kebudayaan, meskipun tidak selalu sama tingkat dominasinya. Hal itu sangat tergantung adanya tekanan yang mendesak terhadap pergeseran kebudayaan baik tekanan yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar.[3]
Pada awal interaksinya kebudayaan-kebudayaan ini akan saling mempengaruhi baik secara langsung atau tidak langsung. Pada akhirnya kebudayaan yang berbeda ini berbaur saling mempengaruhi antara budaya yang satu dan budaya yang lain. Sehingga, saat Islam sudah memiliki banyak pengikut dan legimitasi politik yang cukup besar, dengan sendirinya kebudayaan Islam-lah yang lebih dominan dan melebur dalam satu kebudayaan dalam satu wajah baru. Unsur kebudayaan Islam itu diterima, diolah dan dipadukan dengan budaya Jawa. Karena budaya Islam telah tersebar di masyarakat dan tidak dapat dielakkan terjadinya pertemuan dengan unsur budaya Jawa, maka perubahan kebudayaan yang terjadi selama ini ada yang masih dapat menjaga identitas budaya Jawa yakni dengan akulturasi.
Menurut Koentjaraningrat (1981), terdapat lima hal dalam proses akulturasi:
1. Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan
2. Individu-individu yang membawa unsur kebudayaan asing itu
3. Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke kebudayaan asing tadi
4. Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing.[4]
Proses penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan Islamisasi Kultur Jawa dan Pendekatan Jawanisasi Islam. Melalui Pendekatan Islamisasi kultur Jawa ini budaya Jawa diharapkan tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun substansial. Seperti penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan tokoh Islam dalam berbagai cerita, penerapan hukum dan norma-norma dalam berbagai aspek kehidupan, ini semua adalah beberapa contoh yang sering digunakan oleh para pendahulu dalam mengakulturasikan antara budaya Jawa dan Islam. Pendekatan kedua adalah Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Dalam penggunaan pendekatan yang kedua ini, nama-nama dan istilah-istilah Jawa tetep digunakan dalam pendekatan ini, namun nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa.
Tampaknya tradisi antara islam dan budaya jawa ini telah berlangsung sejak awal perkembangan islam di Jawa. Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan islam dengan budaya Jawa setempat telah melahirkan kepercayaan serta upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat yang mempercayainya.
Dewasa ini banyak pembuktian bahwasanya produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam kejawaan atau Jawa yang Keislaman. Seperti contoh pada nama orang Abdul Razak menjadi Durajak, begitu juga dalam sebutan narimo ing pandom yang pada hakekatnya berarti tawakkal.[5]
Salah satu contoh dari proses akulturasi budaya jawa dan islam adalah upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup yaitu upacara atas kekeramatan bulan-bulan hijriyah dan upacara tahunan. Pada kekeramatan bulan-bulan hijriyah ada upacara ba’da besar, suranan, rejeban, syawalan (kupatan), dan Safaran yang didalamnya terdapat ritual Rebo Pungkasan, lebih mudahnya hari Rabu akhir dibulan Safar.
Kata Rebo mengisyaratkan hari Rabu dan kata Wekasan berasal dari kata pungkasan atau pamungkas yang berarti terakhir. Rebo Wekasan ini dirayakan oleh sebagian ummat Islam diIndonesia, secara umum, perkembangan upacara adat Rebo Wekasan banyak yang mengalami perubahan dalam bentuk pergeseran nilai, bahkan penambahan bentuk upacara. Tetapi pergeseran itu memang mutlak karena kebutuhan daerah tertentu, misalkan adanya pendatang atau modernisasi (pola pikir). Tetapi sejatinya tidak merubah esensi makna Rebo Wekasan tersebut. Ritual ini merupakan suatu bentuk upacara tradisional yang dilakukan dengan maksud untuk menghindari marabahaya yang datang di hari Rabu akhir bulan Safar itu. Rebo wekasan (hari rabu yang penghabisan dari bulan kedua) menurut Denys Lombard yaitu bulan Safar merupakan kutub negatif. Orang tidak keluar rumah dan menghindari segala kegiatan, untuk mengenang nabi Muhammad sakit. Hari itu juga merupakan hari yang kurang baik menurut penanggalan praIslam. Tetapi penaggalan Islam sebaliknya, mencoba meratakan semua ketidaksamaan itu dengan tujuan menggangkat persepsi waktu yang secara mendasar bersifat netral, koheren dan seragam. Artinya sejarah mengatakan bahwa saat Islam datang dan masuk ke dalam budaya Jawa, Islam sendiri tidak menghapus tetapi menumpangi sehingga tidak menggeser kebudayaan di Jawa. Dan mungkin inilah salah satunya perayaan Rebo Wekasan yang mungkin dimana perayaan ini dibawa dari luar jawa tanpa menggeser kebudaan di Jawa. Sehingga perayaan ini masih diterima dan dijalankan oleh masyarakat muslim Jawa, karena memang sejak dari awal dipercaya bahwa pada hari itu akan diturunkan marabahaya sehingga umat muslim berbondong-bondong bagaimana cara menanggulanginya. Dalam hal ini umat Islam dianjurkan untuk berdo’a dan memperbanyak amalan shalat sunnah di setiap waktunya. Tidak hanya di bulan Safar saja, namun juga di bulan-bulan yang lain, sebab melalui do’a-lah takdir Allah dapat diubah.
Ciri khas ritual do’a dari tradisi Rebo Wekasan ialah tidak menggunakan media sesaji dan dupo seperti kebiasaan lama orang jawa, sesaji lebih di wujudkan dalam bentuk sedekah yang dibagikan kepada masyarakat. Untuk menghindari dari ritual yang diannggap menyalahi syariat islam biasanya di beberapa daerah pelaksanaan ritual upacara diisi dengan pembacaan ad-Diba’i/al-Barzanji atau dengan Tahlilan (istilah orang jawa).[6]


C.    Interelasi antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek  Kepercayaan
Islam sangat menghargai kreasi-kreasi atau tradisi yang ada di dalam masyarakat jawa sebagai aktivitas pengasuhan memiliki pengaruh langsung dan kuat terhadap aspek perilaku beragama subjek. Ditambahkan oleh Hart bahwa keluarga merupakan tempat sosialisasi agama yang utama. Berdasarkan pendapat Hartaini menjadi jelas betapa orang tua berposisi sebagai model identifikasi yang sangat penting bagi keberkembangan agama anak. Dalam tradisi keluarga Jawa, anak sejak kecil telah dikenalkan dengan berbagai nilai-nilai yang ada di sekitarnya.
Mengingat tradisi ke-Jawa-an yang dimilikinya, para keluarga Jawa cenderung sejak awal terlebih dahulu mengenalkan nilai-nilai yang lebih berorientasi budaya mereka.
1.      Nilai-nilai seperti: sabar, jujur, budi luhur, pengendalian diri, prihatin, rukun, hormat, manut, murah hati, menghindari konflik, teposeliro, empati, sopan santun, rela, narima, pengabdian, eling, adalah nilai yang sering diajarkan dalam kehidupan keseharian anak. Terkait dengan tradisi keagamaan, masyarakat Jawa juga mengenalkan anak-anak mereka dengan aktivitas rutin keagamaan.
2.      Nilai-nilai tersebut kemudian oleh anak akan dijadikan sebagai pegangan untuk berinteraksi dengan orang-orang di dalam ataupun di luar lingkungan keluarganya, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan bagi seorang individu untuk masa kehidupan berikutnya.
3.      Mendiskusikan tentang agama pada masyarakat Jawa, akan erat kaitannya dengan nilai budaya yang diacu mereka, yaitu budaya Jawa dan pada titik inilah terjadi persilangan antara budaya dengan agama yang kemudian muncul dengan nama kejawen sebagai sebuah fenomena budaya dan agama yang bersama-sama mewarnai kehidupan masyarakat Jawa. Persilangan tersebut juga mengharuskan individu Jawa untuk memilih, agama ataukah budaya sebagai pegangan dalam kehidupannya. Pada sisi ini, betapa ajaran moral saat masih kecil menjadi pegangan pada kebanyakan individu Jawa, tidak membuka konflik namun mengambil jalan tengah.[7]

Faktor agama dan budaya jawa dalam kesamaan unsur kepercayaan:
1.      Kesamaan antara Spiritual Agama Islam dan Budaya Jawa
Percaya terhadap roh nenek moyang dilihat dari kearifan pemikiran manusia, energi yang terdapat pada benda-benda dan mempercayai alam gaib, dan adanya musibah terjadi.
Dalam pandangan agama Islam Allah Swt menciptakan Makhluk yang wajib di Imani oleh umat islam, Malaikat merupakan makhluk ghaib yang tidak mungkin dilihat oleh manusia, dan Hari kiamat adalah dimana umat manusia meyakini adanya hari kiamat dan wajib kita imani.
2.      Sesajen
Pada masa pra Islam masyarakat Jawa, masyarakat sering membuat sesajen untuk para dewa dalam kegiatan seperti meminta hujan, saat musim panen padi, budaya ini masyarakat percaya apabila memberikan sesajen supaya mendapat keberkahan di desa jauh dari musibah. Islam masuk di Indonesia peralihan sesajen yang dituju pada dewa kemudian di ganti dengan kemakmuran (untuk mempererat tali ukhuwah ) menunjukan norma sosial yang ada dalam  islam yang saling mempengaruhi hubungan baik kepada sesama manusia.
ألذين يو منو ن بلغيب ويقيمون الصلوة وممارزقنهم ينفقون
Artinya: “Yaitu mereka yang beriman pada yang gaib , yang mendirikan Sholat , dan menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka.” (Q.S Al-baqarah 3)[8]
3.      Sedekah Laut (Nadran)
Aspek kepercayaan ini pada masa hidhu budha, sedekah laut atau disebut juga dengan nadran ini masyarakat percaya apabila memberikan kepada laut kepala kerbau penguasa laut akan memberikan banyak ikan melimpah dan kemakmuran kepada masyarakat agar tidak kelaparan, tapi apabila masyarakat tidak memberikan sedekah laut maka mendapat musibah. Islam datang mengubah tradisi sedekah laut dengan ungkapan syukur kepada Allah, masyarakat adat yang dituakan untuk memimpin do’a bersama agar atas berkah yang Allah beri akan di tambah, bukan musibah karena tidak bersyukur, dengan tradisi akulturasi budaya ini juga masyarakat saling bertukar rezeki saling sapa menyapa, mendapat nilai yang bermanfaat.
وأذ تا ذ ن ربكما لئن شكرثم لأزيدنكم ولئن كفر تم إن عذا بي لشد يد
Artinya: Dan  (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan mu, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, Pastiakan Aku tambah, tetapi jika kamu tidak bersyukur sesungguhnya azabKu sangat pedih. (QS. Ibrahim ayat 7)
Memandang tentang budaya: Islam menghargai nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat, sejauh tradisi ini tidak melanggar norma sosial dan norma kemanusiaan, maka tradisi itu tetap bisa di pertahankan, sebaliknya jika unsur itu mencederai martabat kemanusiaan, maka tidak ada alasan untuk melestarikan tradisi tersebut. [9]


D.    Interelasi antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Masyarakat Jawa atau suku bangsa jawa secara kultural adalah orang-orang yang hidup keseharianya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai dialeknya secara turun-menurun. Sebagai suku jawa, mereka membanggakan keturunan dari dinasti yang pernah berkuasa di tanah Jawa, yaitu Mataram dan Majapahit. Dua kerajaan Mataram (Islam dan Kuno) dan Majapahit menjadi kebanggaan, karena dengan segala ilmu dan kejayaanya dimasa lalu telah mengihlami pandangan hidup orang Jawa.
Sejak jaman prasejarah orang Jawa memiliki kepercayaan animisme yaitu suatu kepercayaan tentang roh pada benda, binatang, tumbuhan, dan juga pada manusia sendiri. Semua yang bergerak dianggap hidup, memiliki kekuatan goib dan roh, serta memiliki watak baik dan jahat. Diantara roh-roh itu, terdapat roh yang berkuasa yang dianggap lebih kuat dibanding manusia.
Orang jawa mempercayai adanya roh baik dan jahat dibelakang rumah, dibawah pohon bambu, beringin, ketos, dan di gumuk atau kepundung. Terutama roh-roh jahat yang menguasai kawasan tertentu setiap saat mengganggu manusia. Agar terhindar dari roh yang berkuasa dan bersifat jahat, manusia mengadakan sesaji (ritual) untuk roh itu. Yaitu dengan melakukan serangkaian upacara ritual. Masyarakat Jawa ketika itu meminta berkah pada roh serta memohon pada roh jahat agar tidak mengganggu. Untuk melestarikan upacara pemujaan itu, mereka membuat patung dari batu sebagai tempat pemujaan nenek moyang. Untuk menyempurnakan jalanya upacara, mereka membuat bunyi-bunyian, tari-tarian, dan bayang-bayangan agar roh nenek moyang yang dipanggil untuk dimintai permohonan doa mengabulkan permohonannya.
Sisa-sisa peninggalan tradisi pra-Islam adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad gede. Hal ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi kehidupan diri dan kekeluargaanya dapat dikalahkan. Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dhahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan nasi putih dan minum air putih), ngasrep (hanya makan dan minum dengan rasa tawar atau tanpa gula dan garam), dengan berpuasa hari metonan atau hari lahir. Usaha menambah kekuatan batin yang paling berat adalah pati geni yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak melihat sinar apapun selama 40 hari dan malam. Usaha ini ditempuh dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau kekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris, tombak, song-song jene, batu akik, akar bahar, dan kuku macan. (Koentjaraningrat, 1954: 341)
Sebagai puncak Ritual pada masa pra-Islam adalah upacara garebeg. Upacara garebeg pernah diselenggarakan oleh raja-raja Majapahit. Garebeg adalah kelanjutan dari suatu Ritual kuno di ibukota raja, dan berfungsi untuk memulihkan ketepaduan kerajaan. Pada kesempatan para wakil provinsi datang menghaturkan upeti dan rakyat bergembira ria. Ritual-ritual hampir sama dengan ritual lain, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisinil. (Amin, 2002: 20) [10]
Bagi orang Jawa, hidup dipenuhi dengan upacara, baik upacara-upacara berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dalam perut, ibu, lahir, kanak-kanak, dewasa sampai dengan kematiannya. Upacara-upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan ghaib yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada kekuatan ghaib. Tentu upacara itu dilakukan agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.
Islam datang dengan membawa warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan slametan. Kata slametan dipinjam dari kata Arab ‘salamah’ (jmk. Salamat) yang berarati damai atau selamat. Padanannya bersinonim penuh adalah hajatan, syukuran, atau tasyakuran, dan sedekah, yang masing-masing pinjaman dari kata Arab hajah (jmk.hajat) yang berarti keperluan: syukr yang berarti terimakasih, tasyakur berarti pernyataan terimakasih. Terkadang juga disebut sedekah yang berasal dari kata Arab shadaqah yang berarti member sedekah atau sesuatu baik harta ataupun benda kepada orang lain. Menurut Marcel Mauss ada makna timbale balik dalam penyelenggaraan slametan ini yaitu hadiah (berupa doa) dan hadiah yang didapat kembali berupa hidangan atau sebaliknya, makanan sebagai pemberian dan do’a sebagai hadiah. Fungsi religious sedekah bagi meyakini yaitu menolak, menginginkan atau mencegah bencana dan kesulitan atau mengungkapkan rasa syukur. (As-Shadaqah Tadfualbala) dan (lain syakartum laazidan nakum).
Berkaitan dengan lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara,antara lain:
1.      Selametan kehamilan diadakan yaitu saat usia kehamilan 4, 7 dan 9 bulan. Untuk merayakan upacara kehamilan pada usia empat bulan dan sekaligus mendoakan sang ibu yang dikandungnya, diadakan slametan yang disebut dengan ngupati. Berikutnya ketika usia kandungan memasuki usia 7 bulan yang dinamakan ngrujaki, mitui, atau petitu atau tingkeban. Sebelum akhirnya dilahirkan di bulan ke-9. Agar proses kehamilan berjalan lancar, mudah, selamat dan tidak terlalu menyiksa maka dipanjatkan do’a kepada Allah SWT melalu islametan yang disebut nglolusi. Nglolusi mencakup pemberian bubur lolos untuk dibagikan kepada para tetangga dan sanak famili.
2.      Upacara kelahiran dilakukan anak pada saat anak diberi nama dan pemotongan rambut, pada waktu bayi berumur tujuh hari atau sepasar oleh karena itu disebut slametan nyepasari . Dalam tradisi isalam upacara ini disebut aqiqah.
3.      Upacara sunatan dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitankan, pada berbagai masyarakat pelaksanaannya berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya antara usia empat sampai delapan tahun, dan pada masyarakat yang lain dilaksanakan pada saat anak pada usia antara dua belas sampai delapan tahun. Sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai seorang Islam. Karena sunatan sering kali disebut selam, sehingga menghitankan dikatakan nyelamaken, yang mengandung makna mengislamkan (ngislamaken).
4.      Upacara perkawinan, pelakasanaan secara Islam yakni aqad nikah (ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Ada beberapa tahap dalam slametan ini yaitu pada tahap sebelum akad nikah, pada tahap nikah, dan sesudah nikah (ngunduh manten) resepsi.
5.      Upacara kematian, upacara yang dilaksanakan saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati, dan pada akhirnya menguburkan jenazah ke pesarean (pemakaman). Selama sepekan setelah penguburan diadakan tahlilan tiap malam hari yang dinamakan slametan mitung dino, yaitu kirim do’a kepada si jenazah yang didahului dengan bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat pada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana budaya Jawa, slametan ini dilakukan sampai mendaknya orang yang meninggal.
Terdapat pula beberapa jenis upacara tahunan, yaitu upacara yang dilaksanakan setiap tahun. Termasuk dalam jenis upacara ini adalah upacara peringtan hari lahir  Nabi Muhamad, tanggal 12 bulan Maulud, disebut muludan. Selain itu juga terdapat upacara Rejeban atau imi’radan  dalam rangka memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad 27 Rajab. Kemudian juga upacara nisfu sya’ban pada tanggal 29 Ruwah. Pada bulan syawal tanggal satu orang islam tanpa terkecuali mengadakan selamtan Idul Fitri, demikian juga pada hari yang ketujuh sebagai Hari Raya Ketupat yang disebut juga Syawalan. Dalam Hari Raya Idul Adha juga terdapat upacara Grebeg Besar. [11]
         
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Agama adalah suatu ketetapan yang dibuat oleh Tuhan Yang Maha Esa secara mutlak atau tanpa adanya campur tangan siapa saja. Sedangkan budaya sendiri adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.
Tampaknya tradisi antara islam dan budaya jawa ini telah berlangsung sejak awal perkembangan islam di Jawa. Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan islam dengan budaya Jawa setempat telah melahirkan kepercayaan serta upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat yang mempercayainya.
Islam sangat menghargai kreasi-kreasi atau tradisi yang ada di dalam masyarakat jawa sebagai aktivitas pengasuhan memiliki pengaruh langsung dan kuat terhadap aspek perilaku beragama subjek.
Bagi orang Jawa, hidup dipenuhi dengan upacara, baik upacara-upacara berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dalam perut, ibu, lahir, kanak-kanak, dewasa sampai dengan kematiannya. Upacara-upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan ghaib yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada kekuatan ghaib. Tentu upacara itu dilakukan agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.

B.     Kritik dan Saran
Demikianlah pembahasan makalah kami pada kali ini, semoga bisa menambah wawasan dan bermanfaat buat teman-teman mahasiswa dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman.



DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta: Gama Media).
Ismail, Faisal. 1998. Paradigma Kebudayaan Islam.  (Yogyakarta: Titian Illahi Press).
Muthohar, Ahmad. 2012. Perayaan Rebo Wekasan. dibiayai dengan Anggaran DIPA Walisongo Semarang. (Semarang : Lembaga Penelitian IAIN Walisongo Semarang).
Saifuddin, Lukman Haikim. 2015. Islam Nusantara. (Jombang: Teraju Indonesia).
Subiantoro, Slamet. 1999. Perubahan Fungsi Seni Tradisi. (Yogyakarta: Jurnal Seni ISI).
Sutiyono. 2013. Poros Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta: Graha Ilmu).
Yusuf, Mundzirin. dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka).
http://www.academia.edu/4579804/AGAMA_DAN_BUDAYA
Khalifah.center.com


[1] http://www.academia.edu/4579804/AGAMA_DAN_BUDAYA. diakses pada tanggal 13 November 2018.
[2] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam,  (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1998), hlm 48.
[3] Slamet Subiantoro, Perubahan Fungsi Seni Tradisi, (Yogyakarta: Jurnal Seni ISI, 1999), hal 343.
[4] Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005), hal 16.
[5] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hal 120.
[6] Ahmad Muthohar, Perayaan Rebo Wekasan, dibiayai dengan Anggaran DIPA Walisongo Semarang, (Semarang : Lembaga Penelitian IAIN Walisongo Semarang : 2012), hal 78-80.
[7]http//warrohMuhammad.blogsopot.com.diakses rabu. pada tanggal 14 November 2018.
[8] Khalifah.center.com
[9] Lukman Haikim Saifuddin, Islam Nusantara, (Jombang: Teraju Indonesia, 2015).
[10]Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm 1-3.

Contoh Analisis SWOT dalam Warung Makan Sederhana

  Sejarah Warung Makan Mbak Tik ( Misfikhotul Murdayanti ) Nama pemilik usaha warung makan ini yaitu lebih kerabnya dipanggil dengan pangg...