BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama merupakan seperangkat aturan
dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya
mengatur manusia dengan Tuhannya, mengatur manusia dengan manusia yang lainnya,
dan mengatur manusia dengan lingkungan. Adapun kebudayaan merupakan seperangkat
pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, kesenian, yang dijadikan pedoman
bertindak dalam memecahkan persoalan yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Budaya lokal merupakan budaya
sebelum islam tersebar di Nusantara yakni budaya yang bersumberkan dari
ajaran-ajaran agama Hindu-Budha yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme
dan dinamisme.
Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk memodifikasikan Islam dengan
kebudayaan Jawa telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil
interelasi nilai Jawa Islam dengan nilai kepercayaan dan ritual Jawa.
Berbicara mengenai kebudayaan maka
tidak akan terlepas dari yang namanya kepercayaan dan ritual. Untuk itu makalah
ini akan membahas tentang interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam bidang
kepercayaan dan ritual.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agama dan budaya?
2. Bagaimana proses akulturasi budaya jawa dan islam?
3. Bagaimana interelasi antara
budaya jawa dan islam dalam aspek kepercayaan?
4. Bagaimana interelasi antara
budaya jawa dan islam dalam aspek ritual?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Agama dan Budaya
PENGERTIAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Dalam
masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata “din” dari
bahasa Arab dan kata “religi” dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata
Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, “a”
yang berarti tidak dan “gama” yang berarti pergi, maka kata Agama dapat
diartikan tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Sedangkan kata
“Din” itu sendiri dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam
bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh,
hutang, balasan, kebiasaan. Adapula kata Religi yang berasal dari bahasa Latin.
Menurut satu pendapat asalnya ialah “relegere” yang mengandung arti
mengumpulkan, membaca dan dapat juga kata relegare juga bisa diartikan
mengikat. Oleh karena itu agama adalah suatu ketetapan yang dibuat oleh Tuhan
Yang Maha Esa secara mutlak atau tanpa adanya campur tangan siapa saja.
Sedangkan
yang dimaksud dengan kebudayaan adalah ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia,
kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta “Buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan juga bahwa kata
budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang
mempunyai arti “daya” dan “budi”. Karena itu mereka membedakan antara budaya
dan kebudayaan. Sedangkan budaya sendiri adalah daya dari budi yang berupa
cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa
tersebut.
UNSUR-UNSUR AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Unsur -unsur
penting yang terdapat dalam Agama ialah:
1.
Unsur Kekuatan Gaib: Manusia merasa
dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong.
Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan
kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi
perintah dan larangan kekuatan gaib itu sendiri.
2.
Keyakinan Manusia: bahwa
kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada
adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya
hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang
pula.
3.
Respons yang bersifat Emosionil dari
manusia: Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang
terdapat dalam agama-agama primitif, atau perasaan cinta, seperti yang terdapat
dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil
bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama primitif, atau pemujaan
yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu
mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang besangkutan.
BENTUK-BENTUK AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Pada
dasarnya bentuk Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat
yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam
masyarakat primitif ialah Dinamisme, Animisme, Monoteisme dll.
Agama
Dinamisme merupakan Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang
misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan
gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan gaib itu ada
yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah
kekuatan gaib itu disebut “mana‟ dan dalam bahasa Indonesia “tuah atau sakti”. Agama
Animisme ialah Agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang
bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Bagi masyarakat primitif roh masih
tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara.
Roh dari benda-benda tertentu adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat
terhadap kehidupan manusia. Misalnya, hutan yang lebat, pohon besar dan berdaun
lebat, gua yang gelap dll. Sedangkan Agama Monoteisme ialah adanya pengakuan
yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta dan seluruh
isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Bentuk-bentuk
Kebudayaan.
1.
Kebudayaan Islam
Islam
berkembang sejak diutusnya seorang Rasul yang bernama Nabi Muhammad SAW, dimana
ajaran-ajaran Islam sendiri masih sangat kental dan suci, namun sejalan dengan
perkembangan dunia dan perubahan zaman, ajaran-ajaran Islam pun kian marak
dijadikan sebuah Budaya yang akhirnya masyarakat sendiri sulit membandingkan
antara Agama dengan Budaya.
Contohnya:
Masalah busana muslim “Jilbab”, di zaman dahulu busana muslim atau jilbab
adalah pakaian yang menutup aurat, pakaian longgar dan panjang, seperti firman Allah
SWT dalam Al-Qur’an An-Nur: 31 (Katakanlah kepada wanita yang beriman
hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutup kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami
mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka). Sedangkan
zaman sekarang jilbab menjadi sebuah model atau gaya yang mana tidak lagi melihat pada
tuntunan Islam. Contoh lain: Pernikahan dahulu pernikahan cukup hanya dengan
sebuah aqad nikah (ijab qobul) kemudian untuk memberitakan sebuah pernikahan
hanyalah mengundang para tetangga atau saudara terdekat, itupun dalam suasana
yang cukup sederhana, tetapi sekarang pernikahan bak sebuah pesta hajat
yang besar, penggunaan adat istiadat pun dalam pernikahan kian marak terjadi
dan akhirnya menjadi sebuah budaya yang sulit dihilangkan.
2.
Kebudayaan Romawi Timur
Kerajaan
Romawi didirikan pada tahun 753. Budaya Romawi pada umumnya
beragama Nasrani. Dalam Kebudayaannya dikenal tiga muhzab yang termasyur
yaitu:
a.
Mazhab Yaaqibah, yang bertebaran di
Mesir, Habsyah Mazhab ini berkeyakinan bahwa Isa Almasih adalah Allah.
b.
Mazhab Nasathirah yang betebaran di
Mesir, Irak, Persia.
c.
Mazhab Mulkaniyah, Kedua Mazhab ini
berkeyakinan bahwa dalam diri Al-Masih terdapat dua tabiat yaitu: tabiat
ketuhanan dan tabiat kemanusiaan.
3.
Kebudayaan Persia
Dalam
sejarah kebudayaan Persia, masyarakatnya banyak yang menyembah berbagai alam
nyata, seperti langit, cahaya, udara, air dan api. Api dilambangkan sebagai
Tuhan baik, sehingga mereka menyembah api yang selalu dinyalakan didalam rumah
4.
Persia Kebudayaan Arab Jahilliyah
Disebut Arab
Jahilliyah karena sebelum Islam datang mereka adalah pembangkang kepada
kebenaran. Budaya orang-orang Arab Jahilliyah adalah menyembah berhala karena itulah
mereka terus menentang kebenaran meski di ketahui dan didasari kebenarannya
oleh mereka.
HUBUNGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
1.
Agama merupakan bagian Kebudayaan
Kebudayaan
meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati
kemaatian dan membuat acara untuk menyambut peristiwa itu, demikian pula
mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu
makan, pertanian, pemburuan cara ia membuat alat-alat/pecah belah, pakaian,
cara-cara untuk menghiasi rumah dan badannya itu semua termasuk kebudayaan,
seperti juga kesenian, ilmu pengetahuan dan agama.
2.
Agama bukan-wahyu merupakan bagian
dari kebudayaan
Klasifikasi
agama kedalam dua jenis (agama alamiyan dan agama samawiyah). Berikut ciri
pokok yang membedakannya secara tajam dimaksudkan untuk menhindari generalisasi
dan mencampuradukan serta penyamarataan semua agama. Dengan demikian perlu
ditegaskan bahwa agama tidak merupakan genus yang mempunyai spesies, akan
tetapi kita berhadapan dengan dua gejala yaitu gejala alamiyah yang disebut
agama budaya yang timbul dari kehidupan manusia sendiri dan agama Smawiyah atau
wahyu yang diberikan Allah swt kepada manusia melalui Nbi dan Rosul-Nya.
3.
Agama Samawi bukan merupakan bagian
kebudayaan
Berbeda dari
pola pikiran diatas sebelumnya, terdapat kelompok pemikir yang mengatakan bahwa
agama wahyu bukan merupakan bagian kebudayaan, mereka berpendapat bahwa agama
samawi dan kebudayaan adalah berdiri sendiri-sendiri. Jadi: agama samawi dan
kebudayaan tidak saling mencangkup.
4.
Agama dan kebudayaan islam merupakan
bagian dari Din Islam
Pola pemikiran ini di cetuskan dan
di popolerkan oleh Sidi Gazalba.
B.
Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Unsur budaya Islam tersebar di Jawa
seiring dengan masuknya Islam di Indonesia. Secara kelompok dalam masyarakat
Jawa telah mengenal unsur budaya Islam sejak mereka berhubungan dengan pedagang
yang sekaligus menjadi mubaligh pada taraf penyiaran Islam yang pertama kali.
Dalam teori ilmu sosial budaya, dua faktor penting yang berpengaruh dalam
proses kebudayaan yaitu: pertama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat itu
sendiri (internal forces). Kedua, merupakan kekuatan yang muncul dari
luar (eksternal forces). Masing-masing faktor saling berpengaruh
terhadap terjadinya proses perubahan kebudayaan, meskipun tidak selalu sama
tingkat dominasinya. Hal itu sangat tergantung adanya tekanan yang mendesak terhadap
pergeseran kebudayaan baik tekanan yang datang dari dalam maupun yang datang
dari luar.
Pada awal interaksinya kebudayaan-kebudayaan ini akan
saling mempengaruhi baik secara langsung atau tidak langsung. Pada akhirnya
kebudayaan yang berbeda ini berbaur saling mempengaruhi antara budaya yang satu
dan budaya yang lain. Sehingga, saat Islam sudah memiliki banyak pengikut dan
legimitasi politik yang cukup besar, dengan sendirinya kebudayaan Islam-lah
yang lebih dominan dan melebur dalam satu kebudayaan dalam satu wajah baru.
Unsur kebudayaan Islam itu diterima, diolah dan dipadukan dengan budaya Jawa.
Karena budaya Islam telah tersebar di masyarakat dan tidak dapat dielakkan
terjadinya pertemuan dengan unsur budaya Jawa, maka perubahan kebudayaan yang terjadi
selama ini ada yang masih dapat menjaga identitas budaya Jawa yakni dengan
akulturasi.
Menurut Koentjaraningrat (1981), terdapat lima hal
dalam proses akulturasi:
1. Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai
berjalan
2. Individu-individu yang membawa unsur kebudayaan asing itu
3. Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk
masuk ke kebudayaan asing tadi
4. Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing.
Proses penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan,
yaitu pendekatan Islamisasi Kultur Jawa dan Pendekatan Jawanisasi
Islam. Melalui Pendekatan Islamisasi kultur Jawa ini budaya Jawa diharapkan
tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun substansial. Seperti
penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan tokoh Islam
dalam berbagai cerita, penerapan hukum dan norma-norma dalam berbagai aspek
kehidupan, ini semua adalah beberapa contoh yang sering digunakan oleh para
pendahulu dalam mengakulturasikan antara budaya Jawa dan Islam. Pendekatan
kedua adalah Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian
nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Dalam
penggunaan pendekatan yang kedua ini, nama-nama dan istilah-istilah Jawa tetep
digunakan dalam pendekatan ini, namun nilai yang dikandungnya adalah
nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa.
Tampaknya tradisi antara islam
dan budaya jawa ini telah berlangsung sejak awal perkembangan islam di Jawa.
Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan islam dengan
budaya Jawa setempat telah melahirkan kepercayaan serta upacara-upacara yang
dilakukan oleh masyarakat yang mempercayainya.
Dewasa ini banyak pembuktian bahwasanya produk-produk budaya orang
Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada
polarisasi Islam kejawaan atau Jawa yang Keislaman.
Seperti contoh pada nama orang Abdul Razak menjadi Durajak, begitu juga dalam
sebutan narimo ing pandom yang pada hakekatnya berarti tawakkal.
Salah satu contoh dari proses akulturasi budaya jawa
dan islam adalah upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup yaitu upacara
atas kekeramatan bulan-bulan hijriyah dan upacara tahunan. Pada kekeramatan
bulan-bulan hijriyah ada upacara ba’da besar, suranan, rejeban, syawalan (kupatan),
dan Safaran yang didalamnya terdapat ritual Rebo Pungkasan, lebih mudahnya hari
Rabu akhir dibulan Safar.
Kata Rebo mengisyaratkan hari Rabu dan kata Wekasan
berasal dari kata pungkasan atau pamungkas yang berarti terakhir. Rebo Wekasan
ini dirayakan oleh sebagian ummat Islam diIndonesia, secara umum, perkembangan
upacara adat Rebo Wekasan banyak yang mengalami perubahan dalam bentuk
pergeseran nilai, bahkan penambahan bentuk upacara. Tetapi pergeseran itu
memang mutlak karena kebutuhan daerah tertentu, misalkan adanya pendatang atau
modernisasi (pola pikir). Tetapi sejatinya tidak merubah esensi makna Rebo
Wekasan tersebut. Ritual ini merupakan suatu bentuk upacara tradisional yang
dilakukan dengan maksud untuk menghindari marabahaya yang datang di hari Rabu
akhir bulan Safar itu. Rebo wekasan (hari rabu yang penghabisan dari bulan
kedua) menurut Denys Lombard yaitu bulan Safar merupakan kutub negatif. Orang
tidak keluar rumah dan menghindari segala kegiatan, untuk mengenang nabi
Muhammad sakit. Hari itu juga merupakan hari yang kurang baik menurut
penanggalan praIslam. Tetapi penaggalan Islam sebaliknya, mencoba meratakan
semua ketidaksamaan itu dengan tujuan menggangkat persepsi waktu yang secara
mendasar bersifat netral, koheren dan seragam. Artinya sejarah mengatakan bahwa
saat Islam datang dan masuk ke dalam budaya Jawa, Islam sendiri tidak menghapus
tetapi menumpangi sehingga tidak menggeser kebudayaan di Jawa. Dan mungkin
inilah salah satunya perayaan Rebo Wekasan yang mungkin dimana perayaan ini
dibawa dari luar jawa tanpa menggeser kebudaan di Jawa. Sehingga perayaan ini
masih diterima dan dijalankan oleh masyarakat muslim Jawa, karena memang sejak
dari awal dipercaya bahwa pada hari itu akan diturunkan marabahaya sehingga
umat muslim berbondong-bondong bagaimana cara menanggulanginya. Dalam hal ini
umat Islam dianjurkan untuk berdo’a dan memperbanyak amalan shalat sunnah di
setiap waktunya. Tidak hanya di bulan Safar saja, namun juga di bulan-bulan
yang lain, sebab melalui do’a-lah takdir Allah dapat diubah.
Ciri khas ritual do’a dari tradisi Rebo Wekasan ialah
tidak menggunakan media sesaji dan dupo seperti kebiasaan lama orang jawa,
sesaji lebih di wujudkan dalam bentuk sedekah yang dibagikan kepada masyarakat.
Untuk menghindari dari ritual yang diannggap menyalahi syariat islam biasanya
di beberapa daerah pelaksanaan ritual upacara diisi dengan pembacaan
ad-Diba’i/al-Barzanji atau dengan Tahlilan (istilah orang jawa).
C.
Interelasi antara Budaya Jawa
dan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Islam sangat menghargai kreasi-kreasi atau
tradisi yang ada di dalam masyarakat jawa sebagai aktivitas pengasuhan memiliki pengaruh langsung dan kuat terhadap aspek perilaku beragama subjek. Ditambahkan oleh Hart bahwa keluarga
merupakan tempat sosialisasi agama yang utama. Berdasarkan pendapat Hartaini menjadi jelas betapa orang tua berposisi sebagai model identifikasi yang sangat penting bagi keberkembangan agama anak. Dalam tradisi keluarga Jawa, anak sejak kecil telah dikenalkan dengan berbagai nilai-nilai yang ada di sekitarnya.
Mengingat tradisi ke-Jawa-an yang dimilikinya, para keluarga Jawa cenderung sejak awal terlebih dahulu mengenalkan nilai-nilai yang lebih berorientasi budaya mereka.
1.
Nilai-nilai seperti: sabar, jujur, budi luhur, pengendalian diri, prihatin, rukun, hormat, manut, murah hati, menghindari konflik, teposeliro, empati, sopan santun, rela, narima, pengabdian, eling, adalah nilai yang sering diajarkan dalam kehidupan keseharian anak. Terkait dengan tradisi keagamaan, masyarakat Jawa juga mengenalkan anak-anak mereka dengan aktivitas rutin keagamaan.
2.
Nilai-nilai
tersebut kemudian oleh anak akan dijadikan sebagai pegangan untuk berinteraksi dengan
orang-orang di dalam ataupun di luar lingkungan keluarganya, dan bahkan tidak tertutup
kemungkinan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan bagi seorang individu untuk masa
kehidupan berikutnya.
3.
Mendiskusikan
tentang agama pada masyarakat Jawa, akan erat kaitannya dengan nilai budaya
yang diacu mereka, yaitu budaya Jawa dan pada titik inilah terjadi persilangan antara
budaya dengan agama yang kemudian muncul dengan nama kejawen sebagai sebuah fenomena
budaya dan agama yang bersama-sama mewarnai kehidupan masyarakat Jawa.
Persilangan tersebut juga mengharuskan individu Jawa untuk memilih, agama
ataukah budaya sebagai pegangan dalam kehidupannya. Pada sisi ini, betapa ajaran
moral saat masih kecil menjadi pegangan pada kebanyakan individu Jawa, tidak membuka
konflik namun mengambil jalan tengah.
Faktor agama dan budaya jawa dalam kesamaan
unsur kepercayaan:
1.
Kesamaan antara Spiritual Agama Islam dan
Budaya Jawa
Percaya terhadap roh nenek moyang dilihat dari
kearifan pemikiran manusia, energi yang terdapat pada benda-benda dan
mempercayai alam gaib, dan adanya musibah terjadi.
Dalam pandangan agama Islam Allah Swt
menciptakan Makhluk yang wajib di Imani oleh umat islam, Malaikat merupakan
makhluk ghaib yang tidak mungkin dilihat oleh manusia, dan Hari kiamat adalah
dimana umat manusia meyakini adanya hari kiamat dan wajib kita imani.
2.
Sesajen
Pada masa pra Islam masyarakat Jawa,
masyarakat sering membuat sesajen untuk para dewa dalam kegiatan seperti
meminta hujan, saat musim panen padi, budaya ini masyarakat percaya apabila
memberikan sesajen supaya mendapat keberkahan di desa jauh dari musibah. Islam
masuk di Indonesia peralihan sesajen yang dituju pada dewa kemudian di ganti
dengan kemakmuran (untuk mempererat tali ukhuwah ) menunjukan norma sosial yang
ada dalam islam yang saling mempengaruhi
hubungan baik kepada sesama manusia.
ألذين يو منو ن
بلغيب ويقيمون الصلوة وممارزقنهم ينفقون
Artinya:
“Yaitu mereka yang beriman pada yang gaib , yang mendirikan Sholat , dan menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka.”
(Q.S Al-baqarah 3)
3.
Sedekah Laut (Nadran)
Aspek kepercayaan ini pada masa hidhu budha,
sedekah laut atau disebut juga dengan nadran ini masyarakat percaya apabila
memberikan kepada laut kepala kerbau penguasa laut akan memberikan banyak ikan
melimpah dan kemakmuran kepada masyarakat agar tidak kelaparan, tapi apabila
masyarakat tidak memberikan sedekah laut maka mendapat musibah. Islam datang
mengubah tradisi sedekah laut dengan ungkapan syukur kepada Allah, masyarakat
adat yang dituakan untuk memimpin do’a bersama agar atas berkah yang Allah beri
akan di tambah, bukan musibah karena tidak bersyukur, dengan tradisi akulturasi
budaya ini juga masyarakat saling bertukar rezeki saling sapa menyapa, mendapat
nilai yang bermanfaat.
وأذ تا ذ ن ربكما لئن شكرثم لأزيدنكم ولئن كفر
تم إن عذا بي لشد يد
Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan
mu, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, Pastiakan Aku tambah, tetapi jika kamu tidak
bersyukur sesungguhnya azabKu sangat pedih. (QS. Ibrahim ayat 7)
Memandang tentang budaya: Islam menghargai
nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat, sejauh tradisi ini tidak
melanggar norma sosial dan norma kemanusiaan, maka tradisi itu tetap bisa di
pertahankan, sebaliknya jika unsur itu mencederai martabat kemanusiaan, maka
tidak ada alasan untuk melestarikan tradisi tersebut.
D.
Interelasi antara Budaya Jawa
dan Islam dalam Aspek Ritual
Masyarakat Jawa atau
suku bangsa jawa secara kultural adalah orang-orang yang hidup keseharianya
menggunakan bahasa jawa dengan berbagai dialeknya secara turun-menurun. Sebagai
suku jawa, mereka membanggakan keturunan dari dinasti yang pernah berkuasa di
tanah Jawa, yaitu Mataram dan Majapahit. Dua kerajaan Mataram (Islam dan Kuno)
dan Majapahit menjadi kebanggaan, karena dengan segala ilmu dan kejayaanya
dimasa lalu telah mengihlami pandangan hidup orang Jawa.
Sejak jaman prasejarah
orang Jawa memiliki kepercayaan animisme yaitu suatu kepercayaan tentang roh
pada benda, binatang, tumbuhan, dan juga pada manusia sendiri. Semua yang
bergerak dianggap hidup, memiliki kekuatan goib dan roh, serta memiliki watak
baik dan jahat. Diantara roh-roh itu, terdapat roh yang berkuasa yang dianggap
lebih kuat dibanding manusia.
Orang jawa mempercayai
adanya roh baik dan jahat dibelakang rumah, dibawah pohon bambu, beringin,
ketos, dan di gumuk atau kepundung. Terutama roh-roh jahat yang menguasai
kawasan tertentu setiap saat mengganggu manusia. Agar terhindar dari roh yang
berkuasa dan bersifat jahat, manusia mengadakan sesaji (ritual) untuk roh itu.
Yaitu dengan melakukan serangkaian upacara ritual. Masyarakat Jawa ketika itu
meminta berkah pada roh serta memohon pada roh jahat agar tidak mengganggu.
Untuk melestarikan upacara pemujaan itu, mereka membuat patung dari batu
sebagai tempat pemujaan nenek moyang. Untuk menyempurnakan jalanya upacara,
mereka membuat bunyi-bunyian, tari-tarian, dan bayang-bayangan agar roh nenek
moyang yang dipanggil untuk dimintai permohonan doa mengabulkan permohonannya.
Sisa-sisa peninggalan
tradisi pra-Islam adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk
menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau
jagad gede. Hal ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan
mempengaruhi kehidupan diri dan kekeluargaanya dapat dikalahkan. Usaha ini
ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan
cara cegah dhahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih
(hanya makan nasi putih dan minum air putih), ngasrep (hanya makan
dan minum dengan rasa tawar atau tanpa gula dan garam), dengan berpuasa hari metonan
atau hari lahir. Usaha menambah kekuatan batin yang paling berat adalah pati
geni yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak melihat sinar apapun selama
40 hari dan malam. Usaha ini ditempuh dengan cara menggunakan benda-benda
bertuah atau kekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris, tombak,
song-song jene, batu akik, akar bahar, dan kuku macan. (Koentjaraningrat, 1954:
341)
Sebagai puncak Ritual
pada masa pra-Islam adalah upacara garebeg. Upacara garebeg pernah
diselenggarakan oleh raja-raja Majapahit. Garebeg adalah kelanjutan dari suatu
Ritual kuno di ibukota raja, dan berfungsi untuk memulihkan ketepaduan
kerajaan. Pada kesempatan para wakil provinsi datang menghaturkan upeti dan
rakyat bergembira ria. Ritual-ritual hampir sama dengan ritual lain, yang
semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisinil. (Amin, 2002: 20)
Bagi orang Jawa, hidup
dipenuhi dengan upacara, baik upacara-upacara berkaitan dengan lingkaran hidup
manusia sejak dalam perut, ibu, lahir, kanak-kanak, dewasa sampai dengan
kematiannya. Upacara-upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal
pengaruh buruk dari daya kekuatan ghaib yang membahayakan bagi kelangsungan
kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan
sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada kekuatan ghaib. Tentu upacara
itu dilakukan agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.
Islam datang dengan
membawa warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan slametan.
Kata slametan dipinjam dari kata Arab ‘salamah’ (jmk. Salamat) yang
berarati damai atau selamat. Padanannya bersinonim penuh adalah hajatan,
syukuran, atau tasyakuran, dan sedekah, yang masing-masing pinjaman
dari kata Arab hajah (jmk.hajat) yang berarti keperluan: syukr
yang berarti terimakasih, tasyakur berarti pernyataan terimakasih.
Terkadang juga disebut sedekah yang berasal dari kata Arab shadaqah yang
berarti member sedekah atau sesuatu baik harta ataupun benda kepada orang lain.
Menurut Marcel Mauss ada makna timbale balik dalam penyelenggaraan slametan ini
yaitu hadiah (berupa doa) dan hadiah yang didapat kembali berupa hidangan atau sebaliknya,
makanan sebagai pemberian dan do’a sebagai hadiah. Fungsi religious sedekah bagi
meyakini yaitu menolak, menginginkan atau mencegah bencana dan kesulitan atau mengungkapkan
rasa syukur. (As-Shadaqah Tadfualbala) dan (lain syakartum laazidan nakum).
Berkaitan dengan lingkaran
hidup terdapat berbagai jenis upacara,antara lain:
1. Selametan kehamilan diadakan yaitu
saat usia kehamilan 4, 7 dan 9 bulan. Untuk merayakan upacara kehamilan pada
usia empat bulan dan sekaligus mendoakan sang ibu yang dikandungnya, diadakan slametan
yang disebut dengan ngupati. Berikutnya ketika usia kandungan memasuki usia
7 bulan yang dinamakan ngrujaki, mitui, atau petitu atau tingkeban.
Sebelum akhirnya dilahirkan di bulan ke-9. Agar proses kehamilan berjalan lancar,
mudah, selamat dan tidak terlalu menyiksa maka dipanjatkan do’a kepada Allah
SWT melalu islametan yang disebut nglolusi. Nglolusi mencakup
pemberian bubur lolos untuk dibagikan kepada para tetangga dan sanak famili.
2. Upacara kelahiran dilakukan anak pada saat anak diberi nama dan
pemotongan rambut, pada waktu bayi berumur tujuh hari atau sepasar oleh karena
itu disebut slametan nyepasari . Dalam tradisi isalam upacara ini
disebut aqiqah.
3. Upacara sunatan dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitankan, pada
berbagai masyarakat pelaksanaannya berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya antara
usia empat sampai delapan tahun, dan pada masyarakat yang lain dilaksanakan
pada saat anak pada usia antara dua belas sampai delapan tahun. Sunatan atau khitanan
ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai seorang Islam. Karena sunatan sering
kali disebut selam, sehingga menghitankan dikatakan nyelamaken, yang
mengandung makna mengislamkan (ngislamaken).
4. Upacara perkawinan, pelakasanaan secara Islam yakni aqad nikah (ijab
qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan mempelai pria
dan disaksikan oleh dua orang saksi. Ada beberapa tahap dalam slametan ini
yaitu pada tahap sebelum akad nikah, pada tahap nikah, dan sesudah nikah (ngunduh
manten) resepsi.
5. Upacara kematian, upacara yang dilaksanakan saat mempersiapkan penguburan
orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati, dan pada
akhirnya menguburkan jenazah ke pesarean (pemakaman). Selama sepekan setelah
penguburan diadakan tahlilan tiap malam hari yang dinamakan slametan mitung dino,
yaitu kirim do’a kepada si jenazah yang didahului dengan bacaan tasybih,
tahmid, takbir, tahlil dan shalawat pada Nabi Muhammad
saw. Sebagaimana budaya Jawa, slametan ini dilakukan sampai mendaknya orang
yang meninggal.
Terdapat pula beberapa jenis upacara tahunan, yaitu upacara
yang dilaksanakan setiap tahun. Termasuk dalam jenis upacara ini adalah upacara
peringtan hari lahir Nabi Muhamad, tanggal 12 bulan Maulud, disebut muludan.
Selain itu juga terdapat upacara Rejeban atau imi’radan dalam
rangka memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad 27 Rajab. Kemudian
juga upacara nisfu sya’ban pada tanggal 29 Ruwah. Pada bulan syawal tanggal
satu orang islam tanpa terkecuali mengadakan selamtan Idul Fitri, demikian juga
pada hari yang ketujuh sebagai Hari Raya Ketupat yang disebut juga Syawalan.
Dalam Hari Raya Idul Adha juga terdapat upacara Grebeg Besar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agama adalah suatu ketetapan yang dibuat oleh Tuhan Yang Maha Esa secara
mutlak atau tanpa adanya campur tangan siapa saja. Sedangkan budaya
sendiri adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan
adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.
Tampaknya
tradisi antara islam dan budaya jawa ini telah berlangsung sejak awal
perkembangan islam di Jawa. Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk
mengakomodasikan islam dengan budaya Jawa setempat telah melahirkan kepercayaan
serta upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat yang mempercayainya.
Islam sangat menghargai kreasi-kreasi atau tradisi yang ada di dalam
masyarakat jawa sebagai aktivitas pengasuhan memiliki pengaruh langsung dan kuat terhadap aspek perilaku beragama subjek.
Bagi orang Jawa, hidup dipenuhi dengan upacara, baik upacara-upacara
berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dalam perut, ibu, lahir,
kanak-kanak, dewasa sampai dengan kematiannya. Upacara-upacara itu semula
dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan ghaib
yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama,
upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan
kepada kekuatan ghaib. Tentu upacara itu dilakukan agar hidup senantiasa dalam
keadaan selamat.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah pembahasan makalah kami pada kali ini, semoga bisa
menambah wawasan dan bermanfaat buat teman-teman mahasiswa dan kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta:
Gama Media).
Ismail, Faisal. 1998. Paradigma Kebudayaan Islam. (Yogyakarta: Titian Illahi Press).
Muthohar, Ahmad. 2012. Perayaan Rebo Wekasan. dibiayai
dengan Anggaran DIPA Walisongo Semarang. (Semarang : Lembaga Penelitian IAIN
Walisongo Semarang).
Saifuddin, Lukman Haikim.
2015. Islam Nusantara. (Jombang: Teraju Indonesia).
Subiantoro, Slamet. 1999. Perubahan Fungsi Seni
Tradisi. (Yogyakarta: Jurnal Seni ISI).
Sutiyono. 2013. Poros Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta:
Graha Ilmu).
Yusuf, Mundzirin. dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Suka).
http://www.academia.edu/4579804/AGAMA_DAN_BUDAYA