Thursday, November 23, 2017

Makalah Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Ilmu Dakwah



ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI ILMU DAKWAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Dakwah
Dosen Pengampu : Jauharotul Farida, M. Ag.

    Disusun Oleh :
Ayu Sundari                                   (1601036006)
Misfikhotul Murdayanti                 (1601036012)
M. Ardian Choiru Tasbihi H           (1601036032)

MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALI SONGO
SEMARANG
2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai filsafat ilmu pasti tidak akan terlepas dari pembahasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi yang ketiganya adalah cabang dari filsafat. Ontologi membicarakan pengetahuan itu. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi membicarakan cara memperoleh sesutau pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan aksiologi nilai yang membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ontologi dalam Perspektif Ilmu Dakwah
Kata ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu : on/ontos yang berarti “ada”, dan logos yang artinya “ilmu”. Jadi, ontologi ialah ilmu tentang yang ada. Ontologi sendiri adalah teori tentang ada dan realitas. Meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi ontologi adalah bagian dari metafisika yang mempelajari hakikat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Ontologi meliputi permasalahan apahakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inbern dengan pengetahuan yang tidak terlepas dari persepsi kita tentang apa dan bagaimana ilmu itu.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, ontology membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.Aspek ontologi dalam ilmu dakwah berkaitan dengan apa yang menjadi objek kajian pada ilmu tersebut. Obyek kajian ilmu dakwah terbagi dua bagian, yaitu: obyek material dan obyek formal.
Amrullah Achmad berpendapat, obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), hasil ijtihad serta realisasinya dalam sistem pengetahuan, teknologi, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan dan lainnya, khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek formalnya yaitu kegiatan mengajak umat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek kehidupannya.
The Liang Gie membuat struktur pengetahuan filsafat yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu filsafat sistematis, filsafat khusus dan filsafat keilmuan. Sebagian dari filsafat sistematis adalah metafisika. Dan ontologi sendiri menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara-cara yang berbeda dalam entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (seperti objek fisis, hal universal, abstaksi, bilangan dan lain-lain) dapat dikatakan ada. Dalam kerangka tradisonal, ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum mengenai hal “ada”, sedangkan dalam pemakaiannya pada akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai “apa yang ada”. Ontologi berusaha mengungkapkan makna eksistensi, tidak termasuk mengenai persoalan asal mula perkembangan dan struktur kosmos (atau alam semesta) yang merupakan titik perhatian dari kosmologi.
Filsafat dakwah menurut sistematika filsafat yang dibuat The Liang Gie termasuk dalam filsafat khusus, yaitu filsafat agama. Namun dalam kaitannya dengan filsafat keilmuan, seperti yang diadaptasikan oleh Buhtanuddin Agus, masalah ontologi dari filsafat dakwah berkaitan dengan pandangan tentang hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah di sekitar persoalan dakwah.[1]
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan (objek formal pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek formal tersebut. Objek formal ilmu kawniyyah ada dua : alam semesta dan manusia. Objek yang terakhir dapat dilihat dari dimensi individual, komanual, dan temporal. Masing-masing objek, lingkup penelaahan keilmuannya dibatasi pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia, baik secara empiris (QS. An-Nahl: 78) maupun secara hermeneutis (QS. Al-Hajj: 46). Hakikat realitas dari masing-masing objek formal ditafsirkan sebagaimana adanya.
Ontologi dalam Dakwah Islam adalah pemahaman atau pengkajian tentang wujud hakikat dakwah islam dalam mengkaji problem ontologis dakwah yang juga menjadi perhatian filsafat dakwah selain ilmu-ilmu lainnya.[2]
Landasan ontologi adalah menelaah apa yang hendak diketahui melalui penelaahan itu, dengan kata lain apa ynag menjadi bidang bidang telaah ilmu dakwah. Berlainan dengan agama, maka ilmu dakwah mengatasi dirinya kepada masalah-masalah yang empirik dan pemikiran yang tentunya berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial, agama, pemikiran budaya, estetika dan lainnya yang akan diuji. Berdasarkan objek yang ditelaah, maka ilmu dakwah daapt disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya empiric maupun pemikiran.

B.     Ilmu Dakwah dalam Perspektif Epistemologis
Epistemology adalah teori pengetahuan (episteme = pengetahuan, logos = teori, keduanya berasal dari bahasa Yunani), menyelidiki keaslian pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan. Epistemology adalah cabang dari filsafat yang membahas persoalan apa dan bagaimana cara seseorang memperoleh pengetahuan[3], merupakan bagian dari filsafat tentang refleksi manusia atas kenyataanyang menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakikat pengertian manusia. Mengenai epistemologi dakwah secara keilmuan, disini menyangkut yang berkenaan dengan hakikat, landasan, batas-batas keilmuannya termasuk di dalamnya pengetahuan ilmiah dan persoalan ilmiah yang dapat diuji. Yang menjadi batasan tegas mainstream dasar dalam keilmuan dakwah disini adalah dakwah sebagai kebenaran ilmu. Dalam bidang epistemologi terdapat tiga persoalan pokok sebagai berikut:
1.      Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahui?
2.      Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita. Jika ada, apakah kita dapat mengetahuinya?
3.      Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat memebedakan yang benar dari yang salah.
Perbedaan antara epistemologi, metodologi dan logika terletak pada cakupan pengertiannya. Epistemologi berkaitan dengan teori pengetahuan pada umumnya, sehingga ia memiliki pengertian yang paling luas. Tercakup dalam pengertian itu adalah metodologi. Metodologi tak lebih dari kajian mengenai tata cara dan teknik-teknik ilmiah untuk memperoleh sebuah jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan ilmiah sebagian dari tata cara itu adalah logika, yaitu salah satu jenis dari metode ilmiah yang terdiri dari asas-asas dan aturan-aturan penyimpulan yang sah.[4]              
Jadi, yang dimaksud dengan epistemology adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter, dan jenis pengetahuan.
Epistemology meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Menurut Prof. Kunto, akal (verstand), akal budi (vernun) pengamalan, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemology seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme, fenomenalogi dengan berbagai variasinya.
Dalam tradisi keilmuan keislaman, setidaknya ada tiga bentuk epistemology yang berkembang, yakni: epistemologi bayani, epistemologi irfani, dan epistemologi burhani. Secara etimologis, bayani berarti: penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara terminologis, bayani mengandung arti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’, dan ijtihad.
Irfani pola pikirnya berpangkal pada dzat, qalb atau intuisi. Pada dataran ini, dalam hubungannya dengan dakwah tidak begitu banyak berpengaruh terhadap sumber pengetahuannya, mengingat dakwah pada dasarnya lebih kepada persoalan perubahan sosial dan transformasi nilai Islam yang kongkret dan rasional.
Epistemologi burhani bersumber pada aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode dedukatif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan proposisi lainnya yang bersifat aksiomatik. Metode ini pertama kali dikembangkan di Yunani melalui proses panjang dan puncaknya pada Aristoteles. Metode ini, biasa disebut Aristoteles dengan sebutan analisis, yaitu menguraikan ilmu atas dasar prinsip-prinsipnya. Epistemologi burhani inilah yang lebih kental dengan sumber dakwah Islam setelah epistemology bayani.
Mendapatkan pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) sebagai otoritas suci. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut dakwah normatif, yang memiliki karakteristik lebih tetap, mutlak, dan tidak berubah-ubah. Adapun secara burhani, bersumber dari realitas, termasuk didalamnya ilmu sosial, alam, dan kemanusiaan. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut sebagai dakwah historis, yang memiliki karakteristik lebih terbuka, mengalami perubahan, dinamis dan berubah-ubah berdasarkan paradigma dakwah itu sendiri.[5]

C.    Ilmu Dakwah dalam Perspektif Aksiologis
            Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi objektif di pihak lain. Aksiologi adalah perluasan dari cabang etika tradisional. Etika memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral, aksiologi memperluas diri dengan memusatkan perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai dalam etika radisional diartikan sama dengan baik dan jahat, sedangkan dalam aksiologi, nilai memiliki arti lebih luas lagi meliputi baik dan buruk/jahat (dalam pengertian etika), indah dan jelek (dalam pengertian estetika), serta benar atau salah (dalam pengertian logika). Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna yang dikandungnya.
              Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, aksiologi dapat dipahami sebagai bidang telaah terhadap ilmu yang mempertanyakan tujuan ilmu: apakah teori ilmu itu hanya merupakan penjelasan objektif terhadap realitas atau teori ilmu merupakan pengetahuan untuk mengatasi berbagai masalah yang relevan dengan realitas bidang kajian ilmu yang bersangkutan. Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama, seperti dikutip Muslim A. Kadir (1996), Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagi Bronowsky tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan menurut Mario Bunge tujuan ilmu adalah lebih dari sekedar menemukan kebenaran. Akan tetapi, juga mendapatkan kesejahteraan dan kekuasaan. Menurut Mahdi Ghulsani (1986) tujuan ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan ilmu dakwah dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Quran yang relevan, adalah untuk menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran (QS. Fushilat: 53), mendekatkan diri kepada Allah sebagai kebenaran (QS. Al-Dzariyat: 56), dan merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam/Rahmatan lil Alamin (QS. Al-Anbiya: 107).[6]
Aksiologis berarti teori tentang nilai, dalam kaitannya dengan Ilmu Dakwah yang secara etimologis berarti panggilan/ajakan untuk memahami kebenaran (teologis) Islam, maka nilai kebenaran mendasar merupakan landasan aksiologis bagi pengembangan dakwah. Kedudukan dakwah sebagai ilmu, dapat ditemukan pada argumen yang dapat menjawab sejauh mana dakwah memiliki kriteria sebagai ilmu. Kriteria tersebut mencakup: pertama, sejauh mana dakwah memiliki argumen atas struktur yang jelas dari ilmu yang menyampaikan dan mengajak orang untuk mengakui kebenaran teologis tertentu.
Kejelasan struktur menjadi sangat penting, karena kebenaran yang hendak disampaikan oleh Ilmu Dakwah pada dasarnya merupakan kebenaran transendental yang sering “tidak terjangkau” oleh sudut pandang ilmiah yang secara mayoritas dianut oleh ilmuwan itu sendiri. Kedua, menyangkut kejelasan Ilmu Dakwah yang dapat dipertanggungjawabkan secara sistematik. Ketiga, menyangkut pertanggungjawaban metodelogis dakwah sebagai Ilmu. setiap ilmu pengetahuan disamping harus dapat menjelaskan apa yang menjadi obyek kajiannya atau obyek materialnya, juga harus dapat mempertanggungjawabkan sudut pandang atau obyek formal yang dipakai memahami obyek kajiannya. Keempat, sejauh mana dakwah sebagai ilmu dapat mempertanggungjawabkan produk-produknya berangkat dari proses logika yang jelas keterkaitan antara premis dan kesimpulannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, bahwa yang menjadi landasan aksiologi ilmu dakwah adalah nilai-nilai kebenaran teologis yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, sehingga nilai-nilai tersebut menjelma sebagi “rahmatan lil alamin”.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
1.      Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islammenjadi tatanan Khoirul-Ummah.
2.      Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah.
3.      Membangun dan mengembalikan tujuan hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-Qur’an dan Sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda:
1.      Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ktivitas konkrit. Sebagai ilmu, criteria keilmuan seperti struktur yang jelas, sistematika, metodologi serta alur pikir yang“maton” terargumentasikan. Sebagai objek kajian harus jelas pula sudut tinjauanmaupun disipilin keilmuan yang dapat dijadikan alat pendekatan. Sebagai praktikyang harus dimiliki persyaratan tertentu dalam pelaksanaannya.
2.      Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
a.       Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b.      Di dalam umat terjadi perbedaan yang melahirkan komunitas Islam yang “bersaing”. Sunni, Syi’I dan Khariji yang masing-masing mengklaim monopoli kebenaran. Yang terpenting dalam pendekatan dakwah adalah dilakukan dialog terus menerus dengan menjernihkan mana masalah yang bersifat substansial.Sehingga dakwah berarti mencegah terjadinya perselesihan besar di kalanganumat atau al-fitnah al-kubra.
c.       Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
3.      Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran. Tidak terbatas hanya pada pengertian dakwah sebagai praktik, objek kajian atau lebih sebagai ilmu pengetahuan
                                                                                   

                                                                                        




[1]Drs. Wahidin Saputra, M.A. , Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), hal 59-60
[3]Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hal 10
[4] Drs. Wahidin Saputra, M.A., Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hal 99-100
[5]Iyas Supena, Desain Ilmu-Ilmu Keislaman, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hal 125-126
[6]Drs Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hal 129-130

No comments:

Post a Comment

Contoh Analisis SWOT dalam Warung Makan Sederhana

  Sejarah Warung Makan Mbak Tik ( Misfikhotul Murdayanti ) Nama pemilik usaha warung makan ini yaitu lebih kerabnya dipanggil dengan pangg...