ONTOLOGI,
EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI ILMU DAKWAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Dakwah
Dosen Pengampu : Jauharotul
Farida, M. Ag.
Disusun Oleh :
Ayu Sundari (1601036006)
Misfikhotul Murdayanti (1601036012)
M. Ardian Choiru Tasbihi H (1601036032)
MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALI SONGO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara mengenai filsafat ilmu
pasti tidak akan terlepas dari pembahasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
yang ketiganya adalah cabang dari filsafat. Ontologi membicarakan pengetahuan
itu. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi membicarakan cara
memperoleh sesutau pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan.
Sedangkan aksiologi nilai yang membicarakan apa manfaat atau guna dari
pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ontologi dalam Perspektif Ilmu Dakwah
Kata ontologi
berasal dari bahasa yunani, yaitu : on/ontos yang berarti “ada”, dan logos yang
artinya “ilmu”. Jadi, ontologi ialah ilmu tentang yang ada. Ontologi sendiri adalah teori tentang ada dan realitas. Meninjau
persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan
realitas. Jadi ontologi adalah bagian dari metafisika yang mempelajari hakikat
dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Ontologi meliputi
permasalahan apahakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang
inbern dengan pengetahuan yang tidak terlepas dari persepsi kita tentang apa
dan bagaimana ilmu itu.
Menurut Jujun
S. Suriasumantri, ontology membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori
tentang “ada”.Aspek ontologi dalam ilmu dakwah berkaitan dengan apa yang
menjadi objek kajian pada ilmu tersebut. Obyek kajian ilmu dakwah terbagi dua
bagian, yaitu: obyek material dan obyek formal.
Amrullah Achmad
berpendapat, obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam
(Al-Qur’an dan As-Sunnah), hasil ijtihad serta realisasinya dalam sistem
pengetahuan, teknologi, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan dan lainnya,
khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek formalnya yaitu kegiatan mengajak
umat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek
kehidupannya.
The Liang Gie membuat struktur
pengetahuan filsafat yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu filsafat
sistematis, filsafat khusus dan filsafat keilmuan. Sebagian dari filsafat
sistematis adalah metafisika. Dan ontologi sendiri menyelidiki sifat dasar dari
apa yang nyata secara fundamental dan cara-cara yang berbeda dalam entitas dari
kategori-kategori logis yang berlainan (seperti objek fisis, hal universal,
abstaksi, bilangan dan lain-lain) dapat dikatakan ada. Dalam kerangka
tradisonal, ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum
mengenai hal “ada”, sedangkan dalam pemakaiannya pada akhir-akhir ini ontologi
dipandang sebagai teori mengenai “apa yang ada”. Ontologi berusaha
mengungkapkan makna eksistensi, tidak termasuk mengenai persoalan asal mula
perkembangan dan struktur kosmos (atau alam semesta) yang merupakan titik
perhatian dari kosmologi.
Filsafat dakwah menurut sistematika
filsafat yang dibuat The Liang Gie termasuk dalam filsafat khusus, yaitu
filsafat agama. Namun dalam kaitannya dengan filsafat keilmuan, seperti yang
diadaptasikan oleh Buhtanuddin Agus, masalah ontologi dari filsafat dakwah
berkaitan dengan pandangan tentang hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah di
sekitar persoalan dakwah.[1]
Ontologi merupakan asas dalam
menetapkan batas/ruang lingkup wujud yang
menjadi objek penelaahan (objek formal pengetahuan) serta penafsiran tentang
hakikat realitas dari objek formal tersebut. Objek formal ilmu kawniyyah ada dua : alam semesta dan
manusia. Objek yang terakhir dapat dilihat dari dimensi individual, komanual,
dan temporal. Masing-masing objek, lingkup penelaahan keilmuannya dibatasi pada
daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia, baik secara
empiris (QS. An-Nahl: 78) maupun secara hermeneutis (QS. Al-Hajj: 46). Hakikat
realitas dari masing-masing objek formal ditafsirkan sebagaimana adanya.
Ontologi dalam Dakwah Islam adalah
pemahaman atau pengkajian tentang wujud hakikat dakwah islam dalam mengkaji
problem ontologis dakwah yang juga menjadi perhatian filsafat dakwah selain
ilmu-ilmu lainnya.[2]
Landasan ontologi adalah menelaah
apa yang hendak diketahui melalui penelaahan itu, dengan kata lain apa ynag
menjadi bidang bidang telaah ilmu dakwah. Berlainan dengan agama, maka ilmu
dakwah mengatasi dirinya kepada masalah-masalah yang empirik dan pemikiran yang
tentunya berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial, agama, pemikiran
budaya, estetika dan lainnya yang akan diuji. Berdasarkan objek yang ditelaah,
maka ilmu dakwah daapt disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya
empiric maupun pemikiran.
B.
Ilmu Dakwah dalam Perspektif Epistemologis
Epistemology adalah teori
pengetahuan (episteme = pengetahuan, logos = teori, keduanya berasal dari
bahasa Yunani), menyelidiki keaslian pengetahuan, struktur, metode dan
validitas pengetahuan. Epistemology adalah cabang dari filsafat yang membahas
persoalan apa dan bagaimana cara seseorang memperoleh pengetahuan[3],
merupakan bagian dari filsafat tentang refleksi manusia atas kenyataanyang
menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakikat pengertian manusia. Mengenai
epistemologi dakwah secara keilmuan, disini menyangkut yang berkenaan dengan
hakikat, landasan, batas-batas keilmuannya termasuk di dalamnya pengetahuan
ilmiah dan persoalan ilmiah yang dapat diuji. Yang menjadi batasan tegas
mainstream dasar dalam keilmuan dakwah disini adalah dakwah sebagai kebenaran
ilmu. Dalam bidang epistemologi terdapat tiga persoalan pokok sebagai berikut:
1.
Apakah
sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang
dan bagaimana kita mengetahui?
2.
Apakah
sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran
kita. Jika ada, apakah kita dapat mengetahuinya?
3.
Apakah
pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat memebedakan yang
benar dari yang salah.
Perbedaan antara epistemologi, metodologi dan logika terletak pada
cakupan pengertiannya. Epistemologi berkaitan dengan teori pengetahuan pada
umumnya, sehingga ia memiliki pengertian yang paling luas. Tercakup dalam
pengertian itu adalah metodologi. Metodologi tak lebih dari kajian mengenai
tata cara dan teknik-teknik ilmiah untuk memperoleh sebuah jenis pengetahuan,
yaitu pengetahuan ilmiah sebagian dari tata cara itu adalah logika, yaitu salah
satu jenis dari metode ilmiah yang terdiri dari asas-asas dan aturan-aturan
penyimpulan yang sah.[4]
Jadi, yang dimaksud dengan
epistemology adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat,
karakter, dan jenis pengetahuan.
Epistemology meliputi sumber,
sarana, dan tata cara menggunakan sarana untuk mencapai pengetahuan (ilmiah).
Menurut Prof. Kunto, akal (verstand), akal budi (vernun)
pengamalan, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, merupakan sarana yang dimaksud
dalam epistemology seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme,
fenomenalogi dengan berbagai variasinya.
Dalam
tradisi keilmuan keislaman, setidaknya ada tiga bentuk epistemology yang
berkembang, yakni: epistemologi bayani, epistemologi irfani, dan epistemologi
burhani. Secara etimologis, bayani berarti: penjelasan, pernyataan, ketetapan.
Sedangkan secara terminologis, bayani mengandung arti pola pikir yang bersumber
pada nash, ijma’, dan ijtihad.
Irfani
pola pikirnya berpangkal pada dzat, qalb atau intuisi. Pada dataran ini, dalam
hubungannya dengan dakwah tidak begitu banyak berpengaruh terhadap sumber
pengetahuannya, mengingat dakwah pada dasarnya lebih kepada persoalan perubahan
sosial dan transformasi nilai Islam yang kongkret dan rasional.
Epistemologi
burhani bersumber pada aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran
proposisi dengan metode dedukatif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi satu
dengan proposisi lainnya yang bersifat aksiomatik. Metode ini pertama kali
dikembangkan di Yunani melalui proses panjang dan puncaknya pada Aristoteles.
Metode ini, biasa disebut Aristoteles dengan sebutan analisis, yaitu
menguraikan ilmu atas dasar prinsip-prinsipnya. Epistemologi burhani inilah
yang lebih kental dengan sumber dakwah Islam setelah epistemology bayani.
Mendapatkan
pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
sebagai otoritas suci. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut dakwah
normatif, yang memiliki karakteristik lebih tetap, mutlak, dan tidak
berubah-ubah. Adapun secara burhani, bersumber dari realitas, termasuk
didalamnya ilmu sosial, alam, dan kemanusiaan. Pada dataran ini, secara
keilmuwan lazim disebut sebagai dakwah historis, yang memiliki karakteristik
lebih terbuka, mengalami perubahan, dinamis dan berubah-ubah berdasarkan
paradigma dakwah itu sendiri.[5]
C.
Ilmu Dakwah dalam Perspektif Aksiologis
Aksiologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau
buruk dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta
eksistensi objektif di pihak lain. Aksiologi adalah perluasan dari cabang etika
tradisional. Etika memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral, aksiologi
memperluas diri dengan memusatkan perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai
dalam etika radisional diartikan sama dengan baik dan jahat, sedangkan dalam aksiologi,
nilai memiliki arti lebih luas lagi meliputi baik dan buruk/jahat (dalam
pengertian etika), indah dan jelek (dalam pengertian estetika), serta benar
atau salah (dalam pengertian logika). Aksiologi adalah teori tentang nilai
dalam berbagai makna yang dikandungnya.
Dalam kaitannya dengan ilmu
pengetahuan, aksiologi dapat dipahami sebagai bidang telaah terhadap ilmu yang
mempertanyakan tujuan ilmu: apakah teori ilmu itu hanya merupakan penjelasan
objektif terhadap realitas atau teori ilmu merupakan pengetahuan untuk
mengatasi berbagai masalah yang relevan dengan realitas bidang kajian ilmu yang
bersangkutan. Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama,
seperti dikutip Muslim A. Kadir (1996), Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan
dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagi Bronowsky
tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan menurut Mario Bunge tujuan
ilmu adalah lebih dari sekedar menemukan kebenaran. Akan tetapi, juga
mendapatkan kesejahteraan dan kekuasaan. Menurut Mahdi Ghulsani (1986) tujuan
ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan ilmu dakwah dengan
merujuk pada beberapa ayat Al-Quran yang relevan, adalah untuk menjelaskan
realitas dakwah sebagai suatu kebenaran (QS. Fushilat: 53), mendekatkan diri
kepada Allah sebagai kebenaran (QS. Al-Dzariyat: 56), dan merealisasikan
kesejahteraan untuk seluruh alam/Rahmatan lil Alamin (QS. Al-Anbiya: 107).[6]
Aksiologis
berarti teori tentang nilai, dalam kaitannya dengan Ilmu Dakwah yang secara
etimologis berarti panggilan/ajakan untuk memahami kebenaran (teologis) Islam,
maka nilai kebenaran mendasar merupakan landasan aksiologis bagi pengembangan
dakwah. Kedudukan dakwah sebagai ilmu, dapat ditemukan pada argumen yang dapat
menjawab sejauh mana dakwah memiliki kriteria sebagai ilmu. Kriteria tersebut
mencakup: pertama, sejauh mana dakwah memiliki argumen atas struktur yang jelas
dari ilmu yang menyampaikan dan mengajak orang untuk mengakui kebenaran
teologis tertentu.
Kejelasan
struktur menjadi sangat penting, karena kebenaran yang hendak disampaikan oleh
Ilmu Dakwah pada dasarnya merupakan kebenaran transendental yang sering “tidak
terjangkau” oleh sudut pandang ilmiah yang secara mayoritas dianut oleh ilmuwan
itu sendiri. Kedua, menyangkut kejelasan Ilmu Dakwah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sistematik. Ketiga, menyangkut pertanggungjawaban
metodelogis dakwah sebagai Ilmu. setiap ilmu pengetahuan disamping harus dapat
menjelaskan apa yang menjadi obyek kajiannya atau obyek materialnya, juga harus
dapat mempertanggungjawabkan sudut pandang atau obyek formal yang dipakai
memahami obyek kajiannya. Keempat, sejauh mana dakwah sebagai ilmu dapat
mempertanggungjawabkan produk-produknya berangkat dari proses logika yang jelas
keterkaitan antara premis dan kesimpulannya.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat ditegaskan, bahwa yang menjadi landasan aksiologi ilmu
dakwah adalah nilai-nilai kebenaran teologis yang bersumber dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial,
sehingga nilai-nilai tersebut menjelma sebagi “rahmatan lil alamin”.
Menurut Sambas,
aksiologi ilmu dakwah adalah:
1.
Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah)
mewujudkan ajaran islammenjadi tatanan Khoirul-Ummah.
2.
Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh
jamaah.
3.
Membangun dan mengembalikan tujuan hidup
manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-Qur’an dan Sunnah, oleh
karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan
ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.
Dalam
dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan
mengandung konsekuensi yang berbeda:
1.
Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman
dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah
ktivitas konkrit. Sebagai ilmu, criteria keilmuan seperti struktur yang jelas,
sistematika, metodologi serta alur pikir yang“maton” terargumentasikan. Sebagai
objek kajian harus jelas pula sudut tinjauanmaupun disipilin keilmuan yang
dapat dijadikan alat pendekatan. Sebagai praktikyang harus dimiliki persyaratan
tertentu dalam pelaksanaannya.
2.
Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan,
yang meliputi:
a.
Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu
dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi
sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories
yang lain.
b.
Di dalam umat terjadi perbedaan yang melahirkan
komunitas Islam yang “bersaing”. Sunni, Syi’I dan Khariji yang masing-masing
mengklaim monopoli kebenaran. Yang terpenting dalam pendekatan dakwah adalah
dilakukan dialog terus menerus dengan menjernihkan mana masalah yang bersifat
substansial.Sehingga dakwah berarti mencegah terjadinya perselesihan besar di
kalanganumat atau al-fitnah al-kubra.
c.
Adanya realitas bahwa diluar Islam ada
komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat
dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
3.
Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi
harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak,
kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang
harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran. Tidak terbatas hanya
pada pengertian dakwah sebagai praktik, objek kajian atau lebih sebagai ilmu
pengetahuan
[1]Drs. Wahidin Saputra, M.A. , Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2011), hal 59-60
[3]Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1973), hal 10
[4] Drs. Wahidin Saputra, M.A., Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2011), hal 99-100
[5]Iyas Supena, Desain Ilmu-Ilmu Keislaman, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hal
125-126
[6]Drs Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011), hal 129-130
No comments:
Post a Comment