Wednesday, January 24, 2018

artikel transfer dan pencairan dana desa

Transfer dan Pencairan Dana Desa
(Study kasus di Kota Demak)
(Misfikhotul Murdayanti)
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja  Daerah  kabupaten/kota  dan  digunakan  untuk  membiayai  penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Fokus penting dari penyaluran dana ini lebih terkait pada implementasi pengalokasian Dana Desa agar bisa sesempurna gagasan para inisiatornya. Skenario awal Dana Desa ini diberikan dengan mengganti program pemerintah yang dulunya disebut PNPM, namun dengan berlakunya Dana Desa ini, dapat menutup kesempatan beberapa pihak asing untuk menyalurkan dana ke daerah di  Indonesia  dengan program-program  yang  sebenarnya  juga  dapat  menjadi  pemicu pembangunan daerah.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah mengalokasikan Dana Desa, melalui mekanisme transfer kepada Kabupaten/Kota. Berdasarkan alokasi Dana tersebut, maka tiap Kabupaten / Kota mengalokasikannya kepada setiap desa berdasarkan jumlahdesa  dengan memperhatikan jumlah penduduk  (30%), luas wilayah (20%), dan angka kemiskinan (50%). Hasil perhitungan tersebut disesuaikan juga dengan tingkat kesulitan geografis masing-masing desa. Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud di atas, bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya  langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari APBN, dengan luasnya lingkup kewenangan Desa dan dalam rangkamengoptimalkan penggunaan Dana Desa,maka  penggunaan  Dana  Desa  diprioritaskan untuk membiayai pembangunan danpemberdayaan masyarakat Desa. Penetapan prioritaspenggunaandana tersebut tetap sejalan dengan kewenangan  yang  menjadi  tanggungjawab  Desa.
Dana  Desa  di  dalam  APBN  2015 dianggarkan  sebesar  Rp  9.066,2  miliar, namun  sejalan  dengan  visi  Pemerintah untuk  Membangun  Indonesia  dari pinggiran  dalam  kerangka  NKRI  maka anggaran  ini  ditambah  alokasinya  di dalam APBN-P 2015 menjadi Rp 20.766,2 miliar. Sedangkan pada tahun anggaran 2016 Dana Desa dialokasikan sebesar Rp.  46.982 miliar.
Sedangkan untuk Kabupaten Demak pada Tahun Anggaran 2015dialokasikan sebesar Rp.73.852.473.000,- dan pada Tahun anggaran 2016 mendapat alokasi sebesar Rp.165.814.611.000,-.

Tuesday, January 9, 2018

makalah KLASIFIKASI SAINS DALAM PEMIKIRAN AL-GHAZALI (Falsafah Kesatuan Ilmu)



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan,  karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Al ghazali ?
2.      Bagaimana pandangan Al-ghazali terhadap filsafat ?
3.      Bagaimana pemikiran Al ghazali terhadap sains ?


BAB II
PEMBAHASAN
1.    Biografi Al-ghazali
Sebagai seorang teolog, sufi, dan filosof yang menolak filsafat, Al ghazali atau Hujjah Al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Thusi Al-ghazali adalah seorang ahli hukum islam terkemuka sepanjang masa. Dilahirkan pada 1058 M/450 H di Thus, sebuah daerah di dekat Masyhad yang sekarang masuk menjadi wilayah negara Iran.
Al-Ghazali menerima pendidikan dasarnya di Thus dan Jurjan. Kemudian, beliau pergi ke Nisyapur untuk belajar dibawah bimbingan Imam Al-Haramain A-Juwaini, namun pada tahun 1085 Imam Al-Haramain wafat sehingga Al-Ghazali pindah ke kompleks Nizham Al-Mulk, wazir Sultan Seljuk. Di kompleks ini Al-ghaazali diterima dengan penuh kehormatan. Beliau tinggal disana sampai ditunjuk oleh sang wazir untuk menduduki jabatan sebagai rektor di universitas Nizhamiyyah di Baghdad pada tahun 1091.[1]
Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di Universitas Nizhamiyyah. Setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia meninggalkan semua jabatan dan dunianya untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf selama hampir dua tahun di sebuah masjid di Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul Maqdis, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. serta nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf.
Setelah melanglang buana kurang lebih 10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk. Al-Ghazali kembali untuk mengajar di Universitas Nizhamiyyah lagi.
Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.[2]
2.      Pandangan Al-Ghazali terhadap filsafat
Di bidang filsafat al-Ghazali memiliki perhatian yang sangat besar dan ia tercatat sebagai pemikir yang banyak melibatkan diri pada segi itu. Ia belajar filsafat kepada al-Juwaini selama tiga tahun. Sehingga al-Ghazali dianggap juga sebagai salah seorang filosof muslim.[3] Namun, dalam lapangan filsafat ketuhanan (metafisika) al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir seperti apa yang ada dalam bukunyaTahafut al-Falasifat (kerancuan pemikiran para filosof). Al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat berikut:
a.  Tuhan tidak mempunyai sifat.
b. Tuhan mempunyai substansi basit (بسيط sederhana, simple) dan tidak mempunyai mahiah ( ماهية  hakekat, quiddity).
c.   Tuhan tidak mengetahui juz’iat (جزئيات perincian, particulars).
d. Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins, (الجنسjenis, genus) dan al-fasl (الفصل          differentia).
e.  Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
f.  Jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iat.
g.       Hukum alam tak dapat berubah.       
h. Pembangkitan jasmani tidak ada.
i.   Alam ini tidak bemula.
j.   Alam ini kekal.[4]
Tiga dari kesepuluh pendapat diatas, menurut Al-Ghazali membawa kepada kekufuran yaitu:
1.      Alam kekal dalam arti tidak bermula.
2.      Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.

Yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.    Alam kekal (Qadimnya Alam)
Filosof-filosof mengatakan bahwa alam ini qadim berdasarkan tiga argumen yaitu sebagai berikut:
a.   Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Proposi ini berlaku bagi sebabakibat, dengan arti, jika Allah qadim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi qadim kedua-duanya (Allah dan alam).
b.  Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamany) antara keduanya adalah sama, seperti keterdahuluan bilangan satu dengan dua
c.  Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin. Kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi. Sedangkan menurut Al-Ghazali yang qadim hanyalah Allah dan yang selain Allah adalah hadis (baharu). Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya karena Allah menciptakan alam sesuai dengan kekuasaan dan kehendak-Nya.
2.    Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
Para filosof Muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui yang selain-Nya (juz’iat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu adalah suatu tambahan, atau pertalian dengan zat, artinya lain daripada zat. Sehingga jika terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.[5]
3.    Pembangkitan jasmani tidak ada.
Menurut para filosof Muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan mengembalikan rohani pada jasmani  di akhirat nanti.
Sebenarnya dalam ajaran agama Islam informasi kebangkitan akhirat ada yang disebutkan dengan jasmani dan rohani dan ada pula yang disebutkan rohani saja. Para filosof Muslim lebih menerima dalam bentuk rohani saja, sebab mereka dalam memahami nash lebih cenderung pada arti metafora, dan kalau akhirat lawan dari dunia yang berbentuk materi berarti akhirat bentuk rohani saja. Jadi, arti surga bagi mereka adalah kesenangan bukan berbentuk jasmani (materi), sedangkan arti neraka (api yang bernyala), bagi mereka adalah kesengsaraan.[6]
Sebenarnya antara Al-Ghazali dengan para filosof Muslim hanya bertentangan dari segi pendekatan dan pemaknaan serta penjabaran konsep saja, bukan esensi dari segala sesuatu, artinya hakekatnya mereka mengakui apa-apa yang tersirat dalam sumber utama (wahyu) sedang pemaknaan atau cara menterjemahkannya tergantung pada manusia.Al-Ghazali pada dasarnya tidak ingin menjatuhkan para filosof Muslim, melainkan mewaspadai jangan sampai pola fikir filosofik yang bersifat khusus berkembang secara umum, karena orang awam belum tentu dapat memahaminya.
Oleh karena itu, Al-Ghazali menurut Harun Nasution membagi tingkatan berfikir manusia menjadi tiga macam:
1. Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
2. Kaum pilihan (الخواص  ,elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
3. kaum menengkar (اهل الجدل).[7]
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik suatu garis horizontal bahwa Al-Ghazali menempatkan para filosof pada kelompok kedua atau ketiga dengan pola berfikir mereka yang khas. Berarti pemikiran filsafat harus dikembangkan di kalangan filosof. Hal ini sejalan dengan ide para filosof muslim khususnya Al-Farabi yang menginginkan agar filsafat tidak dibocorkan terhadap golongan awam, karena tingkat berfikir mereka yang berbeda. Termasuk di dalamnya masalah metafisika dan teologi yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa filsafat bagi orang awam. Begitu pula sebaliknya, untuk berbicara dengan filosof maka harus dengan bahasa filsafat. Al-Ghazali sendiri menurut Syekh Sulaiman Dunya dari al-Azhar, cairo memberikan keterangan-keterangan dengan cara yang berlainan sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Inilah salah satu alasan munculnya tahafut al-falasifat sebagai cara tersendiri dalam menghadapi para filosof dengan bahasa filsafat. Dengan demikian Al-Ghazali tidaklah berbeda dengan filosof, bahkan ia adalah filosof.


3 .Pemikiran Al-Ghazali Terhadap Ilmu
Dalam kitab risalah al-laduniyyah al-ghazali  menjelaskan bahwa ilmu secara epistemologis terbagi enjadi dua sumber. Pertama, sumber insanyyah dan kedua sumber rabbaniyyah. Sumber insaniyyah adalah sumber ilmu pengetahuan yang  dapat diusahakan oleh manusia berdasarkan kekuatan rekayasa akal yang dimilikinya, yang nantinya terbentuk ilmu pengetahuan.
Sumber rabbaniyyah adalah sumber yang dihasilkan melalui petunjuk Allah baik secara langsung melaui ilham yang dibisikkan dalam hati manusia maupun petunjuk yang datang melalui wahyu yang diturunkan pada nabi dan rasul. Pada sumber rabbaniyyah ini terdapat dua sumber pengetahuan. Pertama, dengan jalan wahyu dan kedua dengan jalan ilham. Ilmu yang diperoleh melalui wahyu disebut ilmu nabawi karena ilmu ini diperoleh melalui proses belajar dan berfikir dan hanya diturunkan para nabi karena akal kulli (akal univesal) adapun ilmu yang datang melalui ilham yang masuk kedalam hati manusia disebut ilmu laduni sebagai ilmu yaang terbuka dalam rahasia hati tanpa perantaara kaarena, datang langsung dari Tuhan kedalam jiwa manusia.
Ilmu laduni diperoleh manusia melalui ungkapan langsung (mukassafah) dengan proses panjang yang harus dijalani manusia. Tuhan memberikan ilmu laduni hanya kepada orang-orang tertentu yang jiwanya telah tersucikan. Proses penyucian jiwa menurut alghazali disebut dengan tazkiyah annafs yaitu dengan menggunakan langkah-langkah pertama, melakukan takhalli adalah pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela. Kedua, melalui tahalli yaitu mengisi jiwa yang telah kosong dengan akhlaq atau perilaku terpuji. Ketiga, tajalli yaitu ketersingkapnya atau hasil yang diperoleh manusia berupa karunia keistimewaan atau karomah yang dimiliki manusia.
Ilmu yang diperoleh melalui pendekatan rabbani berbeda dengan ilmu yang diperoleh dengan cara rekayasa akal manusia. Ilmu hasil rekayasa dapat berupa teori-teori keilmuan praktis dalam berhubungan (muamalah) anatara manusia dengan alam sekitarnya. Berdasarkan sumberp pengetahuan insaniyyah dan rabbaniyyah tiga alat untuk memperoleh ilmu yaitu pancaindra, akal, qalb (hati).
Ilmu-ilmu tersebut dianggap oleh al-ghazali memang ilmu, namun penguasaan ilmu-ilmu itu bukan syarat yang niscaya bagi terwujudnya kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Karena itu al-ghazali mengklasifikasikan ilmu kedalam dua bagian utama. Pertama ilmu kerak bagian luar yang meliputi vokalisasi dan tempat keluarnya huruf, ilmu bahasa al-qur’an, ilmu i’rab al-qur’an, ilmu bacaan al-qur’an, dan ilmu tafsir dzahir. Kedua, ilmu inti yang terdiri dalam dua lapisan:
a.       Ilmu-ilmu yang mencakup kisah-kisah al-qur’an, ilmu berdebat dengan orang kafir (theologi) dan ilmu hudud dan hukum.
b.      Ilmu kembalinya jiwa dan ilmu al-israf yakni mengenal Allah dengan naik dari perbuatan kepada sifat dan dari sifat kepada dzat.
Ilmu-ilmu kerak, ilmu-ilmu dzahir diperuntukkan bagi mereka yang awwam sedangkan ilmu inti (batin) khusus untuk khashash al khashash. Dengan kata lain bayan bagi masyarakat umum sedangkan irfan untuk orang-orang khusus. Bayan itu sebagai jalan menuju irfan seperti umum menuju kepada yang khusus.[8]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
al-Ghazali dianggap juga sebagai salah seorang filosof muslim. Namun, dalam lapangan filsafat ketuhanan (metafisika) al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir seperti apa yang ada dalam bukunyaTahafut al-Falasifat (kerancuan pemikiran para filosof). Al-Ghazali menjadikan studi-studinya terhadap segala pengetahuan, sebagai sarana untuk meraih petunjuk, disamping sebagai sarana menyusun sebuah epistimologi.
al-ghazali  menjelaskan bahwa ilmu secara epistemologis terbagi enjadi dua sumber. Pertama, sumber insanyyah dan kedua sumber rabbaniyyah. Ilmu-ilmu tersebut mendapatkan pembagian lagi menjadi ilmu yang lebih rinci lagi.
B.     Kritik dan Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan dari teman-teman sangat untuk perbaikan makalah berikutnya, dan semoga makalah inidapat bermanfaat bagi teman-teman semua untuk berfikir lebih aktif dan kreatif kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA

Dasouki, Thawil Akhyar.1993. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang : CV Toha Putra.
Ghazali, M. Bahri. 1991. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu TinjauanPsikologik Pedagogik,Yogyakarta : Pedoman Ilmu Jaya.
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nakamura, Kajiro. 2004.metode dzikir dan doa Al-Ghazali, Bandung : Arasy
Nasution, Harun. 1995. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Supena, Ilyas. 2013.Filsafat Islam. Yogyakarta: Ombak.
Zar, Sirajuddin.2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.






















1..Kajiro Nakamura, metode dzikir dan doa Al-Ghazali, (Bandung : Arasy,2004). hal 11-12
2.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : CV Toha Putra, 1993), hal. 63.


3. M. Bahri Ghazali,Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu TinjauanPsikologik Pedagogik,(Yogyakarta : Pedoman Ilmu Jaya,1991),hal,58
[4]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 44-45
[5]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 149.
[6]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 174.
7
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal.46.

[8]Ilyas supena, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Ombak, 2013), hal, 128-134.

Contoh Analisis SWOT dalam Warung Makan Sederhana

  Sejarah Warung Makan Mbak Tik ( Misfikhotul Murdayanti ) Nama pemilik usaha warung makan ini yaitu lebih kerabnya dipanggil dengan pangg...