Misfikhotul Murdayanti (1601036012)
MANAJEMEN
DAKWAH
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menjalani kehidupan sebagai warga
Negara tidak terlepas dari segala aturan yang merupakan kewenangan dari pihak
yang memiliki otoritas. Output dari kewenangan tersebut adalah sebuah kebijakan
yang harus dijalankan oleh masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki
otoritas membuat suatu kebijakan sangatlah penting jika kebijakan tersebut
melihat kepentingan masyarakat umum dengan baik.
Kebijakan publik merupakan keputusan
politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Dalam hal ini DPR
RI sebagai lembaga otoritas membuat suatu kebijakan. Fungsi DPR RI sebagai
lembaga suprastruktur dari sebuah kegiatan politik merupakan tanggung jawab
yang diberikan melalui perwakilan rakyat yang mereka emban. Salah satu produk
dari kebijakan publik Komisi VIII DPR RI adalah UU tentang pornografi yang pada
awalnya rancangan UU anti pornografi dan pornoaksi. UU ini disahlan menjadi UU
dalam siding paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
landasan UU No 44 tahun 2008 tentang pornografi?
2.
Apa
isi pokok UU No 44 tahun 2008 tentang pornografi?
3.
Bagaimana
UU Tentang Pornografi dalam perspektif islam?
4.
Bagaimana
solusi pencegahan pornografi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan UU No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Ada tiga landasan yang menjadi pertimbangan
terbentuknya UU No 44 Tahun 2008, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan
yuridis.[1]
1.
Landasan
Filosofis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Dalam
konsideran UU Pornografi terdapat dalam poin menimbang a, yaitu:
“Bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan pancasila yang menjunjung
tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa,
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghargai kebinekaan dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat
manusia.”
2.
Landasan
Sosiologis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat
dan bernegara. Dalam konsideran UU Pornografi terdapat poin menimbang b, yaitu:
“Bahwa
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas
ditengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan social masyarakat
Indonesia.”
3.
Landasan
Yuridis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum
yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
perpu yang baru. Dalam konsideran UU Pornografi terdapat dalam poin menimbang c
yaitu:
“Bahwa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini
belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat.”
B.
Isi Pokok UU No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:[2]
1.
Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
2.
Jasa
pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang
perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel,
televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik
lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3.
Setiap
orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
4.
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.
Pemerintah
adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.
Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Undang-Undang ini bertujuan:
1.
Mewujudkan
dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian
luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati
harkat dan martabat kemanusiaan.
2.
Menghormati,
melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual
keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.
3.
Memberikan
pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat.
4.
Memberikan
kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi
anak dan perempuan.
5.
Mencegah
berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Undang-undang No 44 tahun 2008
secara tegas juga menetapkan bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan
pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu
pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi dengan melipat gandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman
tambahan. Sedangkan untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi,
undang-undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga
sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, atau masyarakat untuk
memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan
mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
C.
UU Tentang Pornografi dalam Perspektif Islam
Hukum Islam merupakan salah satu
sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia, di samping hukum Adat dan hukum
Barat.[3]
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mengatur tentang tata cara
pergaulan juga etika dalam berbusana. Di antaranya QS. Al-Isra’: 32 melarang
setiap orang untuk mendekati zina, QS. An-Nur: 30 dan 31 mengatur tentang tata
pergaulan dan berbusana baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan, dan lain
sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar tercapai ketentraman dan juga kemaslahatan
bagi umat manusia. Oleh karena itu segala bentuk tindakan yang menjurus kearah
perbuatan zina, adalah dilarang dalam Islam, dan salah satunya adalah
pornografi.
Pornografi selalu dikaitkan dengan gerak tubuh yang erotis dan atau
sensual dari perempuan atau laki-laki untuk membangkitkan nafsu birahi baik
bagi lawan jenis maupun sejenis. Sebenarnya perbuatan pornografi bukan
semata-mata perbuatan erotis yang membangkitkan nafsu birahi, tetapi juga
termasuk perbuatan erotis atau sensual yang menjijikkan, atau memalukan orang
yang melihatnya atau mendengarnya, karena tidak semua orang menyukai untuk
melihatnya.
Menurut ajaran Islam, tubuh manusia
merupakan amanah Allah bagi pemilik tubuh yang bersangkutan yang wajib dipelihara
dan dijaga dari segala perbuatan tercela, perbuatan yang merugikan pemilik
tubuh itu sendiri, maupun masyarakat demi keselamatan hidup dan kehidupannya,
baik di dunia maupun di akherat kelak. Tubuh sebagai amanah Allah antara lain
diatur dalam surat an-Nur ayat 30 dan ayat 31 yang mengatur tentang tata busana
dan tata pergaulan dalam keluarga dan masyarakat bagi laki-laki dan perempuan.[4]
Sebenarnya Islam telah jelas
melarang pornografi dan pornoaksi. Membicarakan pornografi dan pornoaksi
berarti mencakup pembahasan aurat, terutama aurat wanita yang selama ini
menjadi objek pornografi dan pornoaksi. Dalam Islam batasan aurat wanita sudah
jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak
tangan (Q.S. anNur [24]: 31).
Dalam perspektif Islam, Islam memang
tidak secara jelas memberikan pengertian tentang pornografi. Namun demikian,
Islam memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Aurat laki-laki, baik
terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut.
Sementara aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan bukan
mahramnya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Di
samping itu, pakaian yang dikenakannya sudah ditentukan yakni: jilbab dan
kerudung, yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat
tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali orang yang berhak,
terlepas terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak.[5]
Jadi, dalam perspektif Islam, yang
menjadi kriteria adalah aurat itu tertutup atau tidak, bukan hasrat seksual
bangkit atau tidak. Islam juga melarang beberapa tindak yang berkaitan dengan
tata pergaulan pria dan wanita. Di antaranya Islam melarang tabarruj (berhias
berlebihan di ruang publik), berciuman, berpelukan, bercampur-baur antara
pria-wanita, berkhalwat dengan wanita bukan mahram, dan segala perbuatan yang
dapat mengantarkan perzinaan.
D.
Solusi Pencegahan Pornografi
Lahirnya Undang-undang No. 44 Tahun
2008 Tentang Pornografi adalah suatu bentuk responsi pemerintah akan bahaya
mengakses pornografi yang semakin menggila. Pornografi merupakan pelanggaran
paling banyak terjadi di dunia maya dengan menampilkan foto, cerita, video dan
gambar bergerak. Hal yang sama juga dicatat oleh Barda Nawawi Arief yang menyatakan
bahwa dunia maya (cyber/ virtual world) atau internet dan Penanggulangan
Pornografi dalam Mewujudkan Manusia Pancasila yang berkaitan dengan masalah
seksual.[6]
Keberadaan pornografi selalu
berlindung di balik kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Pendapat
tersebut selalu dijadikan dasar pembenar dalam peredaran pornografi padahal
pornografi menyebabkan degradasi moral masyarakat. Keadaan tersebut tentu saja
tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang dianut oleh rakyat Indonesia
untuk menjadi insan yang beradab. Oleh sebab itu, penanggulangan pornografi
perlu dilakukan secara optimal.
Dalam proses penegakan hukum untuk
memberantas pornografi, ada beberapa institusi yang memiliki pengaruh besar
dalam pelaksanaanya. Pertama, tentu saja institusi-institusi
formal yang dikenal sebagai aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan,
kepengacaraan, kehakiman serta lembaga pemasyarakatan. Kedua, institusi lain
diantaranya Lembaga Sensor Film (LSF), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta Dewan Gereja Indonesia (DGI).[7]
Institusi lain dalam penanganan
pornografri adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan
gerak dan langkah-langkah umat Islam dalam mewujudkan cita-cita bersama. MUI
berdiri pada tanggal 26 juli 1975, sebagai hasil pertemuan atau musyawarah para
ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.[8] Meskipun
tidak memiliki kekuatan secara formal mengikat terhadap masyarakat, namun
keberadaan MUI sebagai institusi yang mewadahi seluruh umat Islam, sebagai umat
terbesar di Indonesia, memiliki kekuatan moral yang diharapkan mampu membimbing
umat. Kaitanya dengan pornografi, khususnya di televisi merupakan sebuah
kemungkaran yang harus di cegah dan ditanggulangi. Hal ini sesuai dengan peran
MUI sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar, yang berupa fatwa tentang larangan
pornografi. Meskipun tidak ada jaminan bahwa fatwa tersebut akan dipatuhi oleh
umat Islam di Indonesia, namun setidaknya hal tersebut merupakan bentuk
kepedulian MUI terhadap umat, mengingat dampak yang ditimbulkan oleh pornografi
begitu besar terhadap moral masyarakat.
Lembaga keagamaan lainnya adalah
Dewan Gereja Indonesia (DGI), juga memiliki peran yang tidak kalah penting.
Yang jelas lembaga-lembaga tersebut berperan dalam memberikan seruan moral
kepada umatnya masing-masing. Sebab dampak yang ditimbulkan oleh tayangan
pornografi tidak hanya tertuju kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada
semua orang tanpa memandang agama yang dianutnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada tiga landasan yang menjadi
pertimbangan terbentuknya UU No 44 Tahun 2008, yaitu landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis.
Dalam perspektif Islam, Islam memang
tidak secara jelas memberikan pengertian tentang pornografi. Namun demikian,
Islam memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Aurat laki-laki, baik
terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut.
Sementara aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan bukan
mahramnya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Di
samping itu, pakaian yang dikenakannya sudah ditentukan yakni: jilbab dan
kerudung, yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat
tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali orang yang berhak,
terlepas terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak.
Dalam proses penegakan hukum untuk
memberantas pornografi, ada beberapa institusi yang memiliki pengaruh besar
dalam pelaksanaanya. Pertama, tentu saja
institusi-institusi formal yang dikenal sebagai aparat penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan, kepengacaraan, kehakiman serta lembaga pemasyarakatan.
Kedua, institusi lain diantaranya Lembaga Sensor Film (LSF), Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta Dewan Gereja Indonesia
(DGI)
B.
Kritik dan Saran
Kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah kami
kedepannya.Semoga dengan makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat
membangun dan mendorong para mahasiswa atau mahasiswi untuk berfikir aktif dan
kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 2006. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan
Kajian Cyber Crime di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).
Ali, Muhammad Daud. 1986. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia (Cet. 6: Jakarta: Raja Grafindo Persada).
Djubaedah, Neng. 2003. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari
Hukum Islam. (Bogor: Kencana).
http://repository.iainpekalongan.ac.id/1242/.
[1] http://repository.iainpekalongan.ac.id/1242/.diakses pada tanggal
23 April 2018. Pada pukul 20.00 wib.
[2]
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf. diakses pada
tanggal 22 April. Pukul 19.30 wib.
[3] Muhammad Daud
Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia
(Cet. 6: Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986), hal. 29.
[4] Neng Djubaedah. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum
Islam. (Bogor: Kencana, 2003).
[5] https://media.neliti.com/media/publications/57816-ID-uu-pornografi-dalam-perspektif-hukum-isl.pdf. diakses pada
tanggal 22 April 2018, pukul 20.00 wib.
[6] Barda Nawawi
Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indoensia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal 177.
[7]https://www.researchgate.net/publication/305201566_KEJAHATAN_PORNOGRAFI_Upaya_Pencegahan_dan_Penanggulangannya_di_Kabupaten_Ponorogo. diakses pada
tanggal 22 April 2018, pukul 21.00 wib.
[8]https://www.researchgate.net/publication/305201566_KEJAHATAN_PORNOGRAFI_Upaya_Pencegahan_dan_Penanggulangannya_di_Kabupaten_Ponorogo. diakses pada
tanggal 22 April, pukul 21.00 wib.