Sunday, May 13, 2018

Makalah UU TENTANG PORNOGRAFI (No 44 Tahun 2008)



Misfikhotul Murdayanti                 (1601036012)

MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018

 



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menjalani kehidupan sebagai warga Negara tidak terlepas dari segala aturan yang merupakan kewenangan dari pihak yang memiliki otoritas. Output dari kewenangan tersebut adalah sebuah kebijakan yang harus dijalankan oleh masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas membuat suatu kebijakan sangatlah penting jika kebijakan tersebut melihat kepentingan masyarakat umum dengan baik.
Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Dalam hal ini DPR RI sebagai lembaga otoritas membuat suatu kebijakan. Fungsi DPR RI sebagai lembaga suprastruktur dari sebuah kegiatan politik merupakan tanggung jawab yang diberikan melalui perwakilan rakyat yang mereka emban. Salah satu produk dari kebijakan publik Komisi VIII DPR RI adalah UU tentang pornografi yang pada awalnya rancangan UU anti pornografi dan pornoaksi. UU ini disahlan menjadi UU dalam siding paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa landasan UU No 44 tahun 2008 tentang pornografi?
2.      Apa isi pokok UU No 44 tahun 2008 tentang pornografi?
3.      Bagaimana UU Tentang Pornografi dalam perspektif islam?
4.      Bagaimana solusi pencegahan pornografi?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Landasan UU No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Ada tiga landasan yang menjadi pertimbangan terbentuknya UU No 44 Tahun 2008, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.[1]
1.      Landasan Filosofis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Dalam konsideran UU Pornografi terdapat dalam poin menimbang a, yaitu:
“Bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghargai kebinekaan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat manusia.”
2.      Landasan Sosiologis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan bernegara. Dalam konsideran UU Pornografi terdapat poin menimbang b, yaitu:
“Bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas ditengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan social masyarakat Indonesia.”
3.      Landasan Yuridis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk perpu yang baru. Dalam konsideran UU Pornografi terdapat dalam poin menimbang c yaitu:
“Bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat.”

B.     Isi Pokok UU No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:[2]
1.      Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2.      Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3.      Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4.      Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.      Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.      Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
   
Undang-Undang ini bertujuan:
1.      Mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan.
2.      Menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.
3.      Memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat.
4.      Memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
5.      Mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Undang-undang No 44 tahun 2008 secara tegas juga menetapkan bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipat gandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Sedangkan untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, undang-undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
C.    UU Tentang Pornografi dalam Perspektif Islam
Hukum Islam merupakan salah satu sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia, di samping hukum Adat dan hukum Barat.[3] Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mengatur tentang tata cara pergaulan juga etika dalam berbusana. Di antaranya QS. Al-Isra’: 32 melarang setiap orang untuk mendekati zina, QS. An-Nur: 30 dan 31 mengatur tentang tata pergaulan dan berbusana baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar tercapai ketentraman dan juga kemaslahatan bagi umat manusia. Oleh karena itu segala bentuk tindakan yang menjurus kearah perbuatan zina, adalah dilarang dalam Islam, dan salah satunya adalah pornografi.
Pornografi selalu dikaitkan dengan gerak tubuh yang erotis dan atau sensual dari perempuan atau laki-laki untuk membangkitkan nafsu birahi baik bagi lawan jenis maupun sejenis. Sebenarnya perbuatan pornografi bukan semata-mata perbuatan erotis yang membangkitkan nafsu birahi, tetapi juga termasuk perbuatan erotis atau sensual yang menjijikkan, atau memalukan orang yang melihatnya atau mendengarnya, karena tidak semua orang menyukai untuk melihatnya.
Menurut ajaran Islam, tubuh manusia merupakan amanah Allah bagi pemilik tubuh yang bersangkutan yang wajib dipelihara dan dijaga dari segala perbuatan tercela, perbuatan yang merugikan pemilik tubuh itu sendiri, maupun masyarakat demi keselamatan hidup dan kehidupannya, baik di dunia maupun di akherat kelak. Tubuh sebagai amanah Allah antara lain diatur dalam surat an-Nur ayat 30 dan ayat 31 yang mengatur tentang tata busana dan tata pergaulan dalam keluarga dan masyarakat bagi laki-laki dan perempuan.[4]
Sebenarnya Islam telah jelas melarang pornografi dan pornoaksi. Membicarakan pornografi dan pornoaksi berarti mencakup pembahasan aurat, terutama aurat wanita yang selama ini menjadi objek pornografi dan pornoaksi. Dalam Islam batasan aurat wanita sudah jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (Q.S. anNur [24]: 31).
Dalam perspektif Islam, Islam memang tidak secara jelas memberikan pengertian tentang pornografi. Namun demikian, Islam memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Aurat laki-laki, baik terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut. Sementara aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan bukan mahramnya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Di samping itu, pakaian yang dikenakannya sudah ditentukan yakni: jilbab dan kerudung, yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali orang yang berhak, terlepas terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak.[5]
Jadi, dalam perspektif Islam, yang menjadi kriteria adalah aurat itu tertutup atau tidak, bukan hasrat seksual bangkit atau tidak. Islam juga melarang beberapa tindak yang berkaitan dengan tata pergaulan pria dan wanita. Di antaranya Islam melarang tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), berciuman, berpelukan, bercampur-baur antara pria-wanita, berkhalwat dengan wanita bukan mahram, dan segala perbuatan yang dapat mengantarkan perzinaan.

D.    Solusi Pencegahan Pornografi
Lahirnya Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi adalah suatu bentuk responsi pemerintah akan bahaya mengakses pornografi yang semakin menggila. Pornografi merupakan pelanggaran paling banyak terjadi di dunia maya dengan menampilkan foto, cerita, video dan gambar bergerak. Hal yang sama juga dicatat oleh Barda Nawawi Arief yang menyatakan bahwa dunia maya (cyber/ virtual world) atau internet dan Penanggulangan Pornografi dalam Mewujudkan Manusia Pancasila yang berkaitan dengan masalah seksual.[6]
Keberadaan pornografi selalu berlindung di balik kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Pendapat tersebut selalu dijadikan dasar pembenar dalam peredaran pornografi padahal pornografi menyebabkan degradasi moral masyarakat. Keadaan tersebut tentu saja tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang dianut oleh rakyat Indonesia untuk menjadi insan yang beradab. Oleh sebab itu, penanggulangan pornografi perlu dilakukan secara optimal.
Dalam proses penegakan hukum untuk memberantas pornografi, ada beberapa institusi yang memiliki pengaruh besar dalam pelaksanaanya. Pertama, tentu saja institusi-institusi formal yang dikenal sebagai aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kepengacaraan, kehakiman serta lembaga pemasyarakatan. Kedua, institusi lain diantaranya Lembaga Sensor Film (LSF), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta Dewan Gereja Indonesia (DGI).[7]
Institusi lain dalam penanganan pornografri adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam dalam mewujudkan cita-cita bersama. MUI berdiri pada tanggal 26 juli 1975, sebagai hasil pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.[8] Meskipun tidak memiliki kekuatan secara formal mengikat terhadap masyarakat, namun keberadaan MUI sebagai institusi yang mewadahi seluruh umat Islam, sebagai umat terbesar di Indonesia, memiliki kekuatan moral yang diharapkan mampu membimbing umat. Kaitanya dengan pornografi, khususnya di televisi merupakan sebuah kemungkaran yang harus di cegah dan ditanggulangi. Hal ini sesuai dengan peran MUI sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar, yang berupa fatwa tentang larangan pornografi. Meskipun tidak ada jaminan bahwa fatwa tersebut akan dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia, namun setidaknya hal tersebut merupakan bentuk kepedulian MUI terhadap umat, mengingat dampak yang ditimbulkan oleh pornografi begitu besar terhadap moral masyarakat.
Lembaga keagamaan lainnya adalah Dewan Gereja Indonesia (DGI), juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Yang jelas lembaga-lembaga tersebut berperan dalam memberikan seruan moral kepada umatnya masing-masing. Sebab dampak yang ditimbulkan oleh tayangan pornografi tidak hanya tertuju kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada semua orang tanpa memandang agama yang dianutnya.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ada tiga landasan yang menjadi pertimbangan terbentuknya UU No 44 Tahun 2008, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Dalam perspektif Islam, Islam memang tidak secara jelas memberikan pengertian tentang pornografi. Namun demikian, Islam memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Aurat laki-laki, baik terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut. Sementara aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan bukan mahramnya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Di samping itu, pakaian yang dikenakannya sudah ditentukan yakni: jilbab dan kerudung, yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali orang yang berhak, terlepas terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak.
Dalam proses penegakan hukum untuk memberantas pornografi, ada beberapa institusi yang memiliki pengaruh besar dalam pelaksanaanya. Pertama, tentu saja institusi-institusi formal yang dikenal sebagai aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kepengacaraan, kehakiman serta lembaga pemasyarakatan. Kedua, institusi lain diantaranya Lembaga Sensor Film (LSF), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta Dewan Gereja Indonesia (DGI)

B.     Kritik dan Saran
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah kami kedepannya.Semoga dengan makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat membangun dan mendorong para mahasiswa atau mahasiswi untuk berfikir aktif dan kreatif.



DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 2006. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).
Ali, Muhammad Daud. 1986. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Cet. 6: Jakarta: Raja Grafindo Persada).
Djubaedah, Neng. 2003. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam. (Bogor: Kencana).
http://repository.iainpekalongan.ac.id/1242/.


[1] http://repository.iainpekalongan.ac.id/1242/.diakses pada tanggal 23 April 2018. Pada pukul 20.00 wib.
[2] http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf. diakses pada tanggal 22 April. Pukul 19.30 wib.
[3] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Cet. 6: Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986), hal. 29.
[4] Neng Djubaedah. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam. (Bogor: Kencana, 2003).
[6] Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indoensia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal 177.

Contoh Analisis SWOT dalam Warung Makan Sederhana

  Sejarah Warung Makan Mbak Tik ( Misfikhotul Murdayanti ) Nama pemilik usaha warung makan ini yaitu lebih kerabnya dipanggil dengan pangg...