Nama: Misfikhotul Murdayanti
NIM: 1601036012
Kelas: MD-A2
Makul: Antropologi
Dosen: Akhriyadi Sofian
FASE-FASE PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
Fase pertama, (sebelum 1800). Dengan kedatangan orang Eropa di benua Afrika,
Asia, Amerika selama sekitar 4 abad sejak akhir abad ke-16, suku-suku bangsa
dan penduduk pribumi berbagai daerah di muka bumi mulai mendapat pengaruh
negara-negara Eropa. Bersamaan dengan hal ini muncullah beberapa karangan yang
dibuat oleh para musafir, pelaut, pendeta, maupun para penerjemah kitab injil,
yang berupa buku-buku perjalanan, lapaoran, dll, yang jumlahnya sangat banyak.
Dalam buku-buku tersebut kita dapat menjumpai sangat banyak bahan pengetahuan
berupa deskripsi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa, dan
ciri-ciri fisik serta beraneka-warna suku bangsa di Afrika, Asia, maupun
penduduk pribumi benua Amerika. Karena sangat berbeda dengan keadaannya di
Eropa, maka bahan deskripsi yang disebut “etnografi” (etmos berati
“bangsa”) itu sangat menarik pada waktu itu. Namun demikian pelukisan-pelukisan
yang dibuat pada zaman itu pada umumnya masih bersifat kabur dan tidak teliti,
dan seringkali hanya memperhatikan hal-hal yang dianggap aneh bagi mereka. Akan
tetapi, ada juga karya yang baik dan teliti.
Di kalangan kaum terpelajar di Eropa Barat
kemudian timbul 3 sikap yang bertentangan terhadap orang-orang Afrika, Asia, Oseania, dan India tersebut
yaitu:
1. Anggapan
bahwa orang-orang tersebut sebenarnya bukan manusia sungguh-sungguh, melainkan
manusia liar keturunan iblis, dan lain-lain, sehingga timbul istilah-istilah savage
dan primitive yang mengacu kepada bangsa-bangsa pribumi.
2. Pandangan
bahwa masyarakat-masyarakat pribumi tersebut merupakan contoh-contoh masyarakat
yang masih murni, yang belum mengenal kejahatan seperti yang ada dalam
masyarakat seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat pada
waktu itu.
3. Pandangan
bahwa “keanehan” bangsa-bangsa pribumi itu (adat-istiadatnya maupun benda-benda
kebudayaannya) dapat dimanfaatkan untuk dipercontohkan kepada khalayak ramai di
Eropa Barat, sehingga timbul museum-museum yang menggelar benda-benda
kebudayaan berbagai bangsa di luar Eropa.
Pada awal abad ke-19
perhatian ilmuwan Eropa terhadap pengetahuan tentang masyarakat, adat istiadat,
serta ciri-ciri fisik bangsa pribumi itu sangat besar, sehingga ada upaya untuk
mengintegrasikan semua bahan pengetahuan etnografi yang ada menjadi satu.
Fase kedua (kira-kira
pertengahan abad ke-19). Integrasi yang sunguh-sungguh baru terlaksana pada pertengahan
abad ke-19, hal ini ditandai dengan munculnya karangan-karangan yang bahannya
tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu: masyarakat dan
kebudayaan manusia telah berevolusi sangat lambat, dari yang paling rendah ke
yang paling tinggi. Bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia dari tingkat yang
paling tinggi itu adalah seperti bentuk masyarakat dan kebudayaan bangsa Eropa
pada masa itu. Selain masyarakat dan kebudayaan bangsa Eropa semuanya mereka
anggap “primitif” dan lebih rendah, dan merupakan sisa kebudayaan manusia
purba. Berdasarkan cara berpikir itulah semua bangsa di dunia digolongkan
menurut berbagai tingkat evolusi. Ketika sekitar tahun 1860 ada beberapa
karangan yang mengklasifikasikan bahan-bahan mengenai kebudayaan di dunia dalam
berbagai tingkat evolusi, maka lahirlah antropologi.
Fase berikutnya terjadi
dengan munculnya karangan-karangan hasil penelitian mengenai sejarah penyebaran
kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang juga masih dianggap sebagai sisa
kebudayaan manusia kuno. Dengan adanya penelitian seperti inilah masyarakat
berharap memperoleh pengetahuan dengan pengertian tentang sejarah penyebaran
kebudayaan manusia. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam
fase ini dari perkembangan antropologi, ilmu ini bersifat akademis dan
tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksut
mendapatkan pengertian mengenai tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan
sejarah penyebaran kebudayaan manusia di muka bumi.
Fase ketiga (awal abad
ke-20). Pada
awal abad ke-20, sebagian besar negara penjajah di Eropa berhasil memantapkan
kekuasaannya di daerah-daerah kekuasaan mereka. Sebagai ilmu yang mempelajari
bangsa-bangsa bukan-Eropa, antropologi menjadi kian penting bagi bangsa-bangsa
Eropa dalam menghadapi bangsa-bangsa yang mereka jajah. Di samping itu mulai
ada anggapan bahwa mempelajari bangsa-bangsa bukan-Eropa itu makin penting
karena masyarakat bangsa-bangsa itu pada umumnya belum sekompleks bangsa-bangsa
Eropa dan pengertian mengenai masyarakat yang tidak kompleks dapat menambah
pengertian tentang masyarakat yang kompleks.
Dalam fase ketiga ini,
antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis yang tujuannya adalah mempelajari
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan
pemerintah kolonial dan guna mendapat pengertian tentang masyarakat modern yang
bersifat kompleks.
Fase keempat (sesudah
kira-kira 1930).
Dalam fase ini antropologi berkembang sangat luas, baik dalam hal ketelitian
bahan pengetahuannya maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya. Di samping itu,
ketidaksenangan terhadap kolonialisme dan gejala makin berkurangnya
bangsa-bangsa primitif (yakni bangsa-bangsa asli yang terkucil dari pengaruh
kebudayaan Eropa-Amerika) setelah Perang Dunia II, menyebabkan bahwa
antropologi kemudian seakan-akan kehilangan lapangan dan terdorong untuk
mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang
berbeda. Warisan dari fase-fase perkembangan yang semula yang berupa bahan
etnografi serta berbagai metode ilmiah, tentu tidak dibuang begitu saja akan
tetapi, digunakan sebagai landasan bagi perkembangannya yang baru.
Pokok atau sasaran penelitian
para ahli antropologi sudah sejak tahun 1930 bukan lagi suku-suku bangsa
primitif bukan Eropa lagi, melainkan telah beralih kepada penduduk pedesaan
pada umumnya, baik mengenai keanekaragaman fisiknya, masyarakatnya, maupun
kebudayaannya.
Antropologi gaya baru ini
dalam fase perkembangannya yang keempat ini mempunyai dua tujuan yaitu, tujuan
akademis dan tujuan praktis. Tujuan akademis adalah untuk mencapai pengertian
tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai bentuk
fisiknya, masyarakatnya, maupun kebudayaannya. Karena dalam kenyataan antropologi
umumnya mempelajari masyarakat suku bangsa, maka tujuan praktisnya adalah
mempelajari manusia dalam beragam masyarakat suku bangsa guna membangun
masyarakat suku bangsa tersebut.
No comments:
Post a Comment