Tuesday, November 14, 2017

Fase-Fase Perkembangan Antropologi



Nama: Misfikhotul Murdayanti
NIM: 1601036012
Kelas: MD-A2
Makul: Antropologi
Dosen: Akhriyadi Sofian

FASE-FASE PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
Fase pertama, (sebelum 1800). Dengan kedatangan orang Eropa di benua Afrika, Asia, Amerika selama sekitar 4 abad sejak akhir abad ke-16, suku-suku bangsa dan penduduk pribumi berbagai daerah di muka bumi mulai mendapat pengaruh negara-negara Eropa. Bersamaan dengan hal ini muncullah beberapa karangan yang dibuat oleh para musafir, pelaut, pendeta, maupun para penerjemah kitab injil, yang berupa buku-buku perjalanan, lapaoran, dll, yang jumlahnya sangat banyak. Dalam buku-buku tersebut kita dapat menjumpai sangat banyak bahan pengetahuan berupa deskripsi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik serta beraneka-warna suku bangsa di Afrika, Asia, maupun penduduk pribumi benua Amerika. Karena sangat berbeda dengan keadaannya di Eropa, maka bahan deskripsi yang disebut “etnografi” (etmos berati “bangsa”) itu sangat menarik pada waktu itu. Namun demikian pelukisan-pelukisan yang dibuat pada zaman itu pada umumnya masih bersifat kabur dan tidak teliti, dan seringkali hanya memperhatikan hal-hal yang dianggap aneh bagi mereka. Akan tetapi, ada juga karya yang baik dan teliti.
Di kalangan kaum terpelajar di Eropa Barat kemudian timbul 3 sikap yang bertentangan terhadap orang-orang  Afrika, Asia, Oseania, dan India tersebut yaitu:
1.      Anggapan bahwa orang-orang tersebut sebenarnya bukan manusia sungguh-sungguh, melainkan manusia liar keturunan iblis, dan lain-lain, sehingga timbul istilah-istilah savage dan primitive yang mengacu kepada bangsa-bangsa pribumi.
2.      Pandangan bahwa masyarakat-masyarakat pribumi tersebut merupakan contoh-contoh masyarakat yang masih murni, yang belum mengenal kejahatan seperti yang ada dalam masyarakat seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat pada waktu itu.
3.      Pandangan bahwa “keanehan” bangsa-bangsa pribumi itu (adat-istiadatnya maupun benda-benda kebudayaannya) dapat dimanfaatkan untuk dipercontohkan kepada khalayak ramai di Eropa Barat, sehingga timbul museum-museum yang menggelar benda-benda kebudayaan berbagai bangsa di luar Eropa.
Pada awal abad ke-19 perhatian ilmuwan Eropa terhadap pengetahuan tentang masyarakat, adat istiadat, serta ciri-ciri fisik bangsa pribumi itu sangat besar, sehingga ada upaya untuk mengintegrasikan semua bahan pengetahuan etnografi yang ada menjadi satu.
Fase kedua (kira-kira pertengahan abad ke-19). Integrasi yang sunguh-sungguh baru terlaksana pada pertengahan abad ke-19, hal ini ditandai dengan munculnya karangan-karangan yang bahannya tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu: masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi sangat lambat, dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia dari tingkat yang paling tinggi itu adalah seperti bentuk masyarakat dan kebudayaan bangsa Eropa pada masa itu. Selain masyarakat dan kebudayaan bangsa Eropa semuanya mereka anggap “primitif” dan lebih rendah, dan merupakan sisa kebudayaan manusia purba. Berdasarkan cara berpikir itulah semua bangsa di dunia digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi. Ketika sekitar tahun 1860 ada beberapa karangan yang mengklasifikasikan bahan-bahan mengenai kebudayaan di dunia dalam berbagai tingkat evolusi, maka lahirlah antropologi.
Fase berikutnya terjadi dengan munculnya karangan-karangan hasil penelitian mengenai sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang juga masih dianggap sebagai sisa kebudayaan manusia kuno. Dengan adanya penelitian seperti inilah masyarakat berharap memperoleh pengetahuan dengan pengertian tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam fase ini dari perkembangan antropologi, ilmu ini bersifat akademis dan tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksut mendapatkan pengertian mengenai tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia di muka bumi.
Fase ketiga (awal abad ke-20). Pada awal abad ke-20, sebagian besar negara penjajah di Eropa berhasil memantapkan kekuasaannya di daerah-daerah kekuasaan mereka. Sebagai ilmu yang mempelajari bangsa-bangsa bukan-Eropa, antropologi menjadi kian penting bagi bangsa-bangsa Eropa dalam menghadapi bangsa-bangsa yang mereka jajah. Di samping itu mulai ada anggapan bahwa mempelajari bangsa-bangsa bukan-Eropa itu makin penting karena masyarakat bangsa-bangsa itu pada umumnya belum sekompleks bangsa-bangsa Eropa dan pengertian mengenai masyarakat yang tidak kompleks dapat menambah pengertian tentang masyarakat yang kompleks.
Dalam fase ketiga ini, antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis yang tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat pengertian tentang masyarakat modern yang bersifat kompleks.
Fase keempat (sesudah kira-kira 1930). Dalam fase ini antropologi berkembang sangat luas, baik dalam hal ketelitian bahan pengetahuannya maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya. Di samping itu, ketidaksenangan terhadap kolonialisme dan gejala makin berkurangnya bangsa-bangsa primitif (yakni bangsa-bangsa asli yang terkucil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) setelah Perang Dunia II, menyebabkan bahwa antropologi kemudian seakan-akan kehilangan lapangan dan terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang berbeda. Warisan dari fase-fase perkembangan yang semula yang berupa bahan etnografi serta berbagai metode ilmiah, tentu tidak dibuang begitu saja akan tetapi, digunakan sebagai landasan bagi perkembangannya yang baru.
Pokok atau sasaran penelitian para ahli antropologi sudah sejak tahun 1930 bukan lagi suku-suku bangsa primitif bukan Eropa lagi, melainkan telah beralih kepada penduduk pedesaan pada umumnya, baik mengenai keanekaragaman fisiknya, masyarakatnya, maupun kebudayaannya.
Antropologi gaya baru ini dalam fase perkembangannya yang keempat ini mempunyai dua tujuan yaitu, tujuan akademis dan tujuan praktis. Tujuan akademis adalah untuk mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai bentuk fisiknya, masyarakatnya, maupun kebudayaannya. Karena dalam kenyataan antropologi umumnya mempelajari masyarakat suku bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam beragam masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa tersebut.

No comments:

Post a Comment

Contoh Analisis SWOT dalam Warung Makan Sederhana

  Sejarah Warung Makan Mbak Tik ( Misfikhotul Murdayanti ) Nama pemilik usaha warung makan ini yaitu lebih kerabnya dipanggil dengan pangg...