Tuesday, November 14, 2017

Makalah Kesetaraan Gender menurut Perspektif Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan sejarah manusia.
Semua dimungkinkan terjadi karena pasca kerasulan Muhammad, umat sendiri tidak diwarisi aturan secara terperinci (tafshily) dalam memahami Al-Qur'an. Di satu sisi Al-Qur'an mengakui fungsi laki-laki dan perempuan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Namun tidak ada aturan rinci yang mengikat mengenai bagaimana keduanya berfungsi secara kultural. Berbeda pada masa kenabian superioritas dapat diredam. Keberadaan nabi secara fisik sangat berperan untuk menjaga progresivitas wahyu dalam proses emansipasi kemanusiaan. Persoalannya, problematika umat semakin kompleks dan tidak terbatas seiring perkembangan zaman, sementara Al-Qur'an sendiri terdapat aturan-aturan yang masih bersifat umum dan global (mujmal) adanya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari kesetaraan gender?
2.      Bagaimana gender dalam perspektif islam?
3.      Apa ruang lingkup kewanitaan secara biologis?
4.      Bagaimana menjaga kodrat kewanitaan?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Gender
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminine adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai naskah untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminine atau maskulim, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri.
Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminine atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran gender kita.[1]
Begitu lahir, kita mulai mempelajari peran gender kita. Dalam satu studi laboratory mengenai gender, kaum ibu diundang untuk bermain dengan bayi orang lain yang didandani sebagai anak perempuan atau laki-laki. Tidak hanya gender dari bayi itu yang menimbulkan bermacam-macam tanggapan dari kaum perempuan, tetapi perilaku serupa dari seorang bayi ditanggapi secara berbeda, tergantung kepada bagaimana ia didandani. Ketika si bayi didandani sebagai laki-laki, kaum perempuan tersebut menanggapi inisiatif si bayi dengan aksi fisik dan permainan. Tetapi ketika bayi yang sama tampak seperti perempuan dan melakukan hal yang sama tampak seperti perempuan dan melakukan hal yang sama, kaum perempuan itu menenangkan dan menghiburnya.Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang konstruksi secara sosial maupun cultural.

2.      Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antarara laki-laki dan perempuan, hak-hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al-Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyarakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebut dalam Al-Qur’an surat QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang  mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat An-Nisa ini, telah turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat Al-Mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat An-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat An-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al-Tholak, disebut surat An-Nisa’ al Sughro. Surat An-Nisa’ ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.[2]
Maka, pada ayat pertama surat An-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh, pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu  (nafsun wahidah), yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur.  Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan  komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas, kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang. Al Qur’an telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapat di dalam surat An-Nisa’. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.[3]

3.      Ruang Lingkup Qodrat Kewanitaan
Jender merupakan konstruksi atau ciptaan masyarakat atau kebudayaan. Sebagai anggota masyarakat, seorang pria disosialisasikan sebagai seorang laki-laki menurut definisi masyarakat itu. Demikianpun wanita disosialisasikan sebagai wanita menurut definisi wanita di dalam masyarakat itu. Setiap kebudayaan mempunyai pengaruh dalam membentuk kita sebagai laki-laki atau perempuan. Artinya, perbedaan biologis yang kita terima sejak lahir sebagai laki-laki atau perempuan hanyalah merupakan titik awal dari perkembangan kita sebagai pria dan wanita yang dikonstruksi oleh kebudayaan.[4]
Perbedaan seks secara biologis atau perbedaan jender berdasarkan kebudayaan sama sekali tidak menunjukkan siapakah yang superior dan inferior dalam kedua jenis seks atau jender itu. Memang harus diakui adanya perbedaan biologis anatara pria dan wanita. Selai perbedaan alat-alat reproduksi, laki-laki umumnya mempunyai otot yang lebih kekar pada lengan dan bahu sehingga pada umumnya laki-laki bisa mengangkat beban yang lebih berat dari pada wanita. Tetapi dalam banyak hal, wanita mempunyai banyak kelebihan dari kaum pria. Wanita lebih bertahan dalam penderitaan dari pada pria. Kemudian usia rata-rata pada wanita jauh lebih tinggi dari pada laki-laki. Menurut sebuah sensus yang dibuat di Amerika tahun 1986, usia rata-rata laki-laki uma 70.9 tahu sedangkan usia rata-rata wanita adalah 78,2 tahun.
Jadi, ada perbedaan biologis antara pria dan wanita. Tetapi sejak lahir tidak ada penentuan bahwa jenis seks tertentu superior terhadap jenis seks lainnya. Kebudayaanlah yang menciptakan perbedaan-perbedaan yang bias-jender dimana laki-laki lebih tinggi daripaa wanita dalam kebanyakan masyarakat. Ada negara-negara tertentu di mana perempuan tidak mempunyai hak pilih. Bahkan ada kelompok masyarakat di Indonesia yang tidak menyetujui perempuan menjadi presiden karena alasan keagamaan. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa masyarakat atau kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan perbedaan antara pria dan wanita. Kebudayaanlah yang menciptakan sistem-sistem dimana laki-laki mempunyai lebih banyak kekuasaan dari pada kaum perempuan.[5]

4.      Menjaga Kodrat Kewanitaan
a.       Menyerupai Laki-laki
Islam menekankan perempuan agar senantiasa menjaga kodrat kewanitaan mereka. Mereka dilarang menyerupai laki-laki, baik dalam berpakaian, gaya bicara, maupun tindakan. Rasulullah saw. Melaknat perempuan-perempuan yang menyerupai laki-laki.diriwayatkan al-Thabrani, suatu ketika ada seorang perempuan lewat dihadapan Nabi saw. Sambil memanggul panah, beliau lantar bersabda. “Allah melaknat wanita-wanita yang sengaja menyerupai laki-laki dan laki-laki yang sengaja menyerupai wanita.” (HR al-Bukhari).
Ibnu al-Qayyim menegaskan, perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki dan laki-laki yanng bertingkah laku seperti perempuan telah berbuat dosa besar. [6]
b.      Berdandan
Berdandan atau berhias adalah sesuatu yang boleh dilakukkan oleh perempuan demi menjaga kodrat kewanitaannya. Mereka boleh melubangi telinga untuk memakai anting-anting. Para fukhoha menegaskan, seorang perempuan dewasa boleh melubangi telinganya untuk memakai anting-anting, atau telinga bayi-bayi perempuan. Peraktik semacam ini bisa dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. Tanpa ada larangan dari beliau. Ibnu al-Qayyim mengatakan, “Perempuan perlu berhias dan melubangi telinga untuk memasang anting-anting karena suatu kemaslahatan dan hak bagi dirinya.”[7]
Perempuan juga diperbolehkan berdandan dengan memakai pakaian sutra dan perhiasan emas. Akan tetapi, praktik serupa terlarang bagi laki-laki karena sutra dan emas adalah perhiasan khusus bagi kaum perempuan berdsarkan hadia riwayat Abu Musa al-Asy;ari, “Memakai sutra dan perhiasan emas haram bagi laki-laki dari halal bagi perempuan dari umatku.” (HR al-Tirmidzi). Ibnu Qudamah menyatakan, “Untuk tampil cantik dihadapan suaminya, perempuan boleh memakai perhiasan, memacari kedua tangan, memakai bando, dan sebagainya.”
c.       Tidak Keluar Rumah dengan Berhias Secara Berlebihan
Jika seorang perempuan terpaksa harus keluar rumah, dia mesti menutup diri dan auratnya. Menurut Ibnu ‘Abidin, syarat dibolehkannya seorang perempuan keluar rumah adalah jika dia tidak memkai perhiasan dan tidak bersolek sehingga bisa menyebabkan kaum laki-laki tertarik. Allah berfirman, Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah dahulu.” (Al-Ahzab [33]: 33).
Mujahid mengatakan, diantara tingkah laku Jahilah tersebut adalah seringnya perempuan keluar rumah dan berjalan di tengah-tengah kerumunan laki-laki. Qatadah juga menceritakan, perempuan zaman Jahiliah dulu biasa berjalan lenggak-longgok hingga Allah melarang mereka.[8]
d.      Pakaian Perempuan di Muka Umum
Ketika berada di tempat umum, seorang perempuan dilarang memakai pakaian yang bisa memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya dan menampakkan kulit tubuhnya. Jika tidak, dia termasuk golongan perempuan yang berpakaian tetapi hakikatnya telanjang. Rasulullah saw. Bersabda, “Akan datang di penghujung umatku perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi hakikatnya telanjang. Diatas kepala mereka laksana punuk unta. Lihatlah mereka karena sesungguhnya mereka wanita-wanita terlaknat.” (HR Ahmad).[9]
Dalam kitab al-Fawakih karangan al-Dawwani dikatakan, “Saat kelar rumah, perempuan dilarangan memakai pakaian tipis sehingga kulit tubuhnya terlihat. Intinya, seorang perempuan haram mengenakan pakaian yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya dihadapan orang yang tidak boleh melihatnya.”
Kaum perempuan juga tidak boleh melakukkan aktivitas-aktivitas yang bisa memancing perhatian kaum laki-laki sehingga menimbulkan fitnah. Allah Swt. Berfirman, “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Al-Nur [24]: 31).
Ibnu Katsir mengatakan, “Pada masa Jahiliah, kaum perempuan bisa memakai gelang kaki. Ketika gelang kakinya tidak bergemincing saat mereka berjalan, mereka menjejakkan kaki ke tanah agar gelang kakinya bersuara dan terdengar oleh laki-laki. Allah kemudian melarang perempuan muslimah melakukkan hal serupa. Allah juga melarang mereka memperhatikan perhiasan yang mereka pakai dengan gerakan tertentu yang disengaja.”
e.       Tidak Berbaur dengan Laki-laki Asing
Haram bagi seorang perempuan menyendiri (al-khalwah) dengan seorang laki-laki asing, meskipun pada saat dia sedang bekerja. Maksud “menyendiri” disini adalah berada di satu tempat yang aman dari gangguan orang ketiga.
Abu Hanifah mengatakan, “Aku tidak suka jika seorang lelaki menyewa seorang perempuan dewasa dan kemudian mengajak berduaan. Demikian itu karena berduaan dengan perempuan yang bukn mahram adalah perbuatan maksiat.” Rasulullah saw. Bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan menjadi pihak ketiga diantara mereka.” (HR Ahmad dan al-Tirmidzi).[10]








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jender merupakan konstruksi atau ciptaan masyarakat atau kebudayaan. Sebagai anggota masyarakat, seorang pria disosialisasikan sebagai seorang laki-laki menurut definisi masyarakat itu. Demikianpun wanita disosialisasikan sebagai wanita menurut definisi wanita di dalam masyarakat itu. Setiap kebudayaan mempunyai pengaruh dalam membentuk kita sebagai laki-laki atau perempuan. Artinya, perbedaan biologis yang kita terima sejak lahir sebagai laki-laki atau perempuan hanyalah merupakan titik awal dari perkembangan kita sebagai pria dan wanita yang dikonstruksi oleh kebudayaan.
           


[1] Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
[2] Ahmed Laeli, Wanita & Gender Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000.
[3] Ahmed Laeli, Wanita & Gender Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000.
[4] Bernard Raho, Sosiologi, Yogyakarta: Moya Zam Zam, 2016, hal. 212.
[5] Bernard Raho, Sosiologi, Yogyakarta: Moya Zam Zam, 2016, hal. 213.
[6] Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2012, hal. 60.
[7] Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2012, hal. 60
[8] Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2012, hal. 61
[9] Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2012, hal. 62
[10] Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2012, hal. 62

No comments:

Post a Comment

Contoh Analisis SWOT dalam Warung Makan Sederhana

  Sejarah Warung Makan Mbak Tik ( Misfikhotul Murdayanti ) Nama pemilik usaha warung makan ini yaitu lebih kerabnya dipanggil dengan pangg...