BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah utama yang harus ditata untuk sebuah
ilmu adalah mengenai hal yang berkaitan dengan dengan epistemologi ilmu yang
bersangkutan. Karena epistemologi merupakan dasar pijakan ilmu dakwah. Dalam
hal ini, tampaknya belum banyak tulisan atau forum diskusi dan seminar yang
secara kusus membahas epistemologi dakwah.
Dalam Al-qur’an dan hadist serta sunnah-sunnah
Rasulullah bisa kita dapati sentuhan-sentuhan teoritis yang merupakan benih
keilmuan dakwah,yang etlah banyak dijabarkan para pakar yang
berusahamengembangkan ilmu dakwah,baik yang ditukis dalam bahasa Arab maupun
bahasa Indonesia,yang tidak bisa kami sebut satu persatu disini. Tetapi upaya
membangun kerangka keilmuan yang sistematis dan baku harus selalu diupayakan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian
Epistemologi Ilmu Dakwah?
2.
Apa Landasan
Epistemologi Dakwah?
3.
Bagaimana
Model-Model Epistemologi?
4.
Bagaimana
Persoalan Epistemologi dan Metode
Keilmuan Dakwah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi Ilmu Dakwah
Dakwah pada mulanya dipahami sebagai perintah
Allah yang tertuang dalam al-Qur’an. Bagi setiap Muslim yang taat kepada Allah,
maka perintah berdakwah itu wajib dilaksanakan.
Ketika dakwah dilaksanakan dengan baik, lalu disadari bahwa dakwah itu merupakan suatu kebutuhan hidup manusia. Ketika
dakwah disadari sebagai suatu kebutuhan
hidup, maka dakwah pun menjadi suatu aktivitas setiap Muslim kapan pun dan di mana pun mereka berada. Kemudian
aktivitas dakwah pun berkembang dalam berbagai
situasi dan kondisi dengan berbagai dinamikanya.
Sebelum membahas pengertian epistemologi
dakwah,terlebih dahulu akan diuraikan pengertian ilmu dakwah. Djalaluddin
rachmat memberi batasan ilmu dakwah sebagai ilmu yang mempelajari proses
penerimaan, pengolahan, dan penyampaian ajaran islam untuk mengubah individu,
kelompok, serta masyarakat sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan menurut
Amrullah Achmad memberi pengertian ilmu dakwah adalah sebagai kumpulan
pengetahuan yang bersumber dari Allah dan dikembangkan
umat islam dalam susunan yang sisitematis dan terorganisir mengenai manhaj
melaksanakan kewajiban dakwah bertujuan beriktiar mewujudkan khoiru ummah (umat
terbaik).
Dalam filsafat,
epistemologi merupakan disiplin yang esensial setelah metafisika atau ontologi.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti teori. Jadi, epistemologi dapat
diartikan sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Pengertian
dasar epistemologi tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa
pakar filsafat. Pengertian tersebut antara lain:
1.
Hamlyn D.W., dalam The Encyclopedia of Philosophy mengemukakan
bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan sifat dasar
dan ruang lingkup pengetahuan, asumsi dasar serta reabilitas umum dari
pengetahuan.[1]
2.
Komaruddin Hidyat, menyatakan bahwa epistemologi merupakan teori
dan sistem pengetahuan yang mengarahkan sistem tindakan dan cara pandang
seseorang terhadap dunia sekitarnya[2]
3.
Hardono Hadi, mengatakan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari dan mencoba kodrat dan skope pengetahuan, pengandai-andaian,
dan dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki.[3]
Epistemologi ilmu dakwah adalah usaha seseorang
untuk menelaah masalah-masalah, objectivitas, metodologi, sumber, serta
validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai subyek
bahasan (titik tolak berfikir).
B.
Landasan Epistemologi Dakwah
Sebelum kita membahas landasan epistemologi dakwah,
kita dapat melihat berapa banyak dari ilmuan muslim yang juga menggunakan
landasan pengetahuan yang bersumber pada islam. Semua sependapat bahwa sumber
pengetahuan adalah Allah. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Al-qur’an surat
Al.Kahfi ayat 109 di tegaskan:
Artinya:
“Katakanlah:
Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)"
Dengan ungkapan berbeda, al-qur’an menyatakan
dalam bentuk cerita, pada saat awal penciptaan manusia, yaitu adam.
Allah mengajarkan kepada adam sesuatu yang tidak di ketahui adam.
Kemudian dikatakan Allah sebagai sumber ilmu pengetahuan adalah dengan diwahyukannya
(al-quran dan hadits), dan pengetahuan empiris (yang tidak diwahyukan) yang di
dapat dari pengamatan dan penelitian terhadap penomena alam. Kemudian landasan
lain yang perlu dipertimbangkan adalah teoritis, yaitu hasil karya manusia yang
khusus mengkaji dakwah. Berangkat dari penjelasan diatas, dalam pengembangan
dakwah perlu kiranya di pertegas tentang epistemology dakwah secara keilmuan.
dalam hal ini berkaitan dengan landasan.Oleh karena itu teori kebenarannya
adalah kebenaran ilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran itu diuji sejauh
mana keabsahan suatu pengetahuan itu,dan ini memerlukan pembuktian.
Hubunganya dengan ilmu
dakwah berdasarkan sumber-sumber pengetahuan tersebut kami tawarkan
metode pendekatan didalam ilmu dakwah yaitu:
1.
Pendekatan
Normatif intinya berusaha menemukan prinsip dakwah dari sumber
normatif(al-quran dan hadits,maupun sejarah rosulullah.yaitu dengan mengetahui
asbab an nuzul dan asbab al wurud serta metode tafsir dan hadits.
2.
Pendekatan
Empiris innntinya berusaha mengkaji atau menyelidiki kasusu-kasus yang terjadi
di masyarakat. yaitu untuk menemukan teori baru atau mengembangkan teori yang
sudah ada.
3.
Pendekatan
filosofis intinya berusaha mengkaji pemikiran para ulama atau pakar dakwah
meleluai tulisan/karyanya.[4]
C. Model-Model Epistemologi
Terdapat beberapa model epistemologi dalam
islam. Diantaranya yaitu epistemologi bayani, epistemologi irfani dan
epistemologi burhani. Ketiganya memiliki penjabaran tersendiri terkait hal
tersebut. Berikut adalah penjabaran dari masing-masing model epistemologi:
1.
Epistemologi Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami
teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran; secara tidaklangsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan
berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap
harus bersandar pada teks.
2.
Epistemologi
Irfani.
Pengetahuan
irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf,
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani,
dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada
orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh
melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan, dengan lisan
atau tulisan.
Tahap pertama,
persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus
menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan
yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak yaitu :
a.
Taubat
b.Wara`, menjauhkan
diri dari segala sesuatu yangsubhât,
c.
Zuhud, tidak
tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
d.
Faqir,
mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki
apapun kecuali Tuhan swt
e.
Sabar,
menerimasegala bencana dengan laku sopan dan rela.
f.
Tawakkal, percayaatas segala apa yang ditentukan-Nya.
g.Ridla, hilangnya rasaketidaksenangan dalam hati
sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.
Kedua, tahap
penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan
mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada
tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian
mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya
sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui.Namun, realitas kesadaran dan
realitas yang disadari tersebut,keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi
merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain
adalahk esadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd)
yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek
(self-object-knowledge).
Ketiga,
pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada
orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan
masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks
kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam tuhan, sehingga tidak bisa
dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
Persoalannya,
bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut
diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara I`tibâr atau qiyas irfani. Yakni
analogi (penyepadanan) makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna
zahir yang ada dalam teks.15 ke dua,
diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M),
atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M).16
Karena itu, menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran.
3.
Epistemologi
Burhani
Berbeda dengan
bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali
tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan
rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga
epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi
furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan
ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip
logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Tiga
epistemologi Islam ini mempunyai ‘basis’ dan karakter yang berbeda. Pengetahuan
bayani didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang burhani pada
rasio. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk bayani, karena
hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi terfokus pada hal-hal yang
bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti
perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya,
pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyah
kurang bisa merespondan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Tentang
burhani, ia tidak mampu mengungkap seluruh kebenaran dan realitas yang
mendasari semesta. Misalnya, burhani tidak mampu menjelaskan seluruh eksistensi
diluar pikiran seperti soal warna, bau, rasa atau bayangan.[5]
Ketiga hal
tersebut harus disatukan dalam sebuah pemahaman. Maksudnya, ketiga model
tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan
mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'Shalih li
Kulli Zaman wa Makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua
tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya
melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmu-ilmu kontemporer
sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan
keilmuan Islam kedepan.
D.
Kpntribusi
Epistemologi dan Metode Keilmuan Dakwah
Kontribusi epistemologi terhadap pengembangan
ilmudakwah, khususnya dalam pengembangan kurikulum yang berorientasi
kebenaranfilsafat, kebenaran epistemoligik dan kebenaran wahyu yaitu sebagai
berikut
1. Kontribusi
ilmu pengetahuan Yunani ditekankan pada aspek ontologi yang hendak
mengejar kebenaran substantif dan spekulatif, baik dalam kognisi maupun
realitas inderawi. Di sini memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang bersumber
dari metode spekulatif dalam pengembangan matakuliah pada Fakultas Dakwah,
seperti Filsafat Umum dan Filsafat Ilmu;
2. Kontribusi
ilmu pengetahuan Barat modern ditekankan pada proses epistemologi atau metode
ilmiah yang dilewati sebagai sarana mencapai kebenaran. Di sini melahirkan
pengetahuan-pengetahuan berdasarkan kebenaran epistemologik, seperti matakuliah
bidang komunikasi, sosiologi, manajemen, metodologi penelitian, psikologi,
konseling, psikoterapi dan kesehatan mental. Matakuliah-matakuliah ini berdasarkan
epistemologi Barat modern kemudian diambil untuk pengembangan ilmu dakwah.
3. Kontribusi
ilmu pengetahuan di dunia Islam ditekankan pada aspek aksiologi yang berfungsi
sebagai landasan dalam mengkonstruksi fakta. Islam tidak menghendaki
keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai, seperti yang terjadi di Barat. Islam
meletakkan wahyu sebagai paradigma agamawi yang mengakui eksistensi Allah,
tidak hanya sebatas keyakinan semata, tetapi diterapkan dalam konstruksi ilmu
pengetahuan. Di sini melahirkan pengetahuan berdasarkan kebenaran wahyu dalam
pengembangan kurikulum ilmu dakwah, seperti Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ilmu
Fiqh dan Ilmu Dakwah dan sebagainya. [6]
Salah satu persoalan penting yang berhubungan
dengan epistemologi ilmu dakwah adalah persoalan metode keilmuan dakwah. Dalam
menghadapi persoalan ini, ilmu sosial , memiliki metode ilmiah tersendiri yang
berbeda satu dengan lain.
Secara teknis metode ilmiah mempunyai langkah-langkah
observasi dan diskripsi. Hubungan antara teks, da’i dan mad’u serta tujuan
dakwah dalam metode keilmuan dakwah dapat digambarkan sebagai berikut:
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi
ilmu dakwah adalah usaha seseorang untuk menelaah masalah-masalah,
objectivitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara mendalam
dengan menggunakan dakwah sebagai subyak bahasan (titik tolak berfikir).
Landasan epistemologi ilmu dakwah terdiri dari firman Allah yang terdapat pada
Al- Quran dan Sunah. Terdapat model-model epistemologi islam yaitu epistemologi
bayani, irfani dan burhani. Dalam epistemologi terdapat kontribusi dan model
keilmuan yang dapat kita ambil dan pelajari.
B. Kritik dan Saran
Kritik dan
saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah kami kedepannya.Semoga dengan makalah ini dapat dijadikan
sebagai sarana yang dapat membangun dan mendorong para mahasiswa atau mahasiswi
untuk berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Hamlyn, D. W. 1972. History of Epistemology, dalam: Encyclopedia of Philosophy. New York: Mac Millan.
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami bahasa agama: sebuah kajian ilmu Heurmeneutik. Jakarta: Paramadina.
Hardi, Hardono. 1994. Epistimologi: Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
[1] Hamlyn, D. W.,
History of Epistemology, dalam : Encyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edward
(New york: Mac Millan, 1972), hlm. 8-9
[2] Komaruddin Hidayat, Memahami bahasa agama : sebuah kajian ilmu Heurmeneutik
(jakarta: paramadina, 1996)hlm.208
[3] Hardono Hardi,
Epistimologi : filsafat pengetahuan, (Yogyakarta: kanisius, 1994), hlm. 5
[4] http://rachmatfatahillah.blogspot.com/2011/10/epistemologi-dakwah-islam.html. Diakses Pada 22 Oktober 2017. Pukul 13.40 WIB.
[5] http://rachmatfatahillah.blogspot.com/2011/10/epistemologi-dakwah-islam.html. Diakses Pada
22 Oktober 2017. Pukul 13.40 WIB
[6] http://rachmatfatahillah.blogspot.com/2011/10/epistemologi-dakwah-islam.html. Diakses Pada
22 Oktober 2017. Pukul 13.40 WIB.
No comments:
Post a Comment