Wednesday, November 15, 2017

Makalah Filsafat Dakwah (Epistemologi Ilmu Dakwah)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masalah utama yang harus ditata untuk sebuah ilmu adalah mengenai hal yang berkaitan dengan dengan epistemologi ilmu yang bersangkutan. Karena epistemologi merupakan dasar pijakan ilmu dakwah. Dalam hal ini, tampaknya belum banyak tulisan atau forum diskusi dan seminar yang secara kusus membahas epistemologi dakwah.
Dalam Al-qur’an dan hadist serta sunnah-sunnah Rasulullah bisa kita dapati sentuhan-sentuhan teoritis yang merupakan benih keilmuan  dakwah,yang etlah banyak dijabarkan para pakar yang berusahamengembangkan ilmu dakwah,baik yang ditukis dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia,yang tidak bisa kami sebut satu persatu disini. Tetapi upaya membangun kerangka keilmuan yang sistematis dan baku harus selalu diupayakan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Epistemologi Ilmu Dakwah?
2.      Apa Landasan Epistemologi Dakwah?
3.      Bagaimana Model-Model Epistemologi?
4.      Bagaimana Persoalan Epistemologi dan  Metode Keilmuan Dakwah?










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Epistemologi Ilmu Dakwah
Dakwah pada mulanya dipahami sebagai perintah Allah yang tertuang dalam al-Qur’an. Bagi setiap Muslim yang taat kepada Allah, maka perintah berdakwah itu wajib dilaksanakan. Ketika dakwah dilaksanakan dengan baik, lalu disadari bahwa dakwah itu merupakan suatu kebutuhan hidup manusia. Ketika dakwah disadari sebagai suatu kebutuhan hidup, maka dakwah pun menjadi suatu aktivitas setiap Muslim kapan pun dan di mana pun mereka berada. Kemudian aktivitas dakwah pun berkembang dalam berbagai situasi dan kondisi dengan berbagai dinamikanya.
Sebelum membahas pengertian epistemologi dakwah,terlebih dahulu akan diuraikan pengertian ilmu dakwah. Djalaluddin rachmat memberi batasan ilmu dakwah sebagai ilmu yang mempelajari proses penerimaan, pengolahan, dan penyampaian ajaran islam untuk mengubah individu, kelompok, serta masyarakat sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan menurut Amrullah Achmad memberi pengertian ilmu dakwah adalah sebagai kumpulan pengetahuan yang bersumber dari Allah dan dikembangkan umat islam dalam susunan yang sisitematis dan terorganisir mengenai manhaj melaksanakan kewajiban dakwah bertujuan beriktiar mewujudkan khoiru ummah (umat terbaik).
Dalam filsafat, epistemologi merupakan disiplin yang esensial setelah metafisika atau ontologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Pengertian dasar epistemologi tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa pakar filsafat. Pengertian tersebut antara lain:
1.      Hamlyn D.W., dalam The Encyclopedia of Philosophy mengemukakan bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, asumsi dasar serta reabilitas umum dari pengetahuan.[1]
2.      Komaruddin Hidyat, menyatakan bahwa epistemologi merupakan teori dan sistem pengetahuan yang mengarahkan sistem tindakan dan cara pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya[2]
3.      Hardono Hadi, mengatakan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba kodrat dan skope pengetahuan, pengandai-andaian, dan dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[3]
Epistemologi ilmu dakwah adalah usaha seseorang untuk menelaah masalah-masalah, objectivitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai subyek bahasan (titik tolak berfikir).
B.     Landasan Epistemologi Dakwah
Sebelum kita membahas landasan epistemologi dakwah, kita dapat melihat berapa banyak dari ilmuan muslim yang juga menggunakan landasan pengetahuan yang bersumber pada islam. Semua sependapat bahwa sumber pengetahuan adalah Allah. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Al-qur’an surat Al.Kahfi ayat 109 di tegaskan:
Artinya:
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)"
Dengan ungkapan berbeda, al-qur’an menyatakan dalam bentuk cerita, pada saat awal penciptaan manusia, yaitu adam. Allah  mengajarkan kepada adam sesuatu yang tidak di ketahui adam. Kemudian dikatakan Allah sebagai sumber ilmu pengetahuan adalah dengan diwahyukannya (al-quran dan hadits), dan pengetahuan empiris (yang tidak diwahyukan) yang di dapat dari pengamatan dan penelitian terhadap penomena alam. Kemudian landasan lain yang perlu dipertimbangkan adalah teoritis, yaitu hasil karya manusia yang khusus mengkaji dakwah. Berangkat dari penjelasan diatas, dalam pengembangan dakwah perlu kiranya di pertegas tentang epistemology dakwah secara keilmuan. dalam hal ini berkaitan dengan landasan.Oleh karena itu teori kebenarannya adalah kebenaran ilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran itu diuji sejauh mana  keabsahan suatu pengetahuan itu,dan ini memerlukan pembuktian. Hubunganya dengan ilmu dakwah berdasarkan sumber-sumber  pengetahuan tersebut  kami tawarkan metode pendekatan didalam ilmu dakwah yaitu:
1.      Pendekatan Normatif intinya berusaha menemukan prinsip dakwah dari sumber normatif(al-quran dan hadits,maupun sejarah rosulullah.yaitu dengan mengetahui asbab an nuzul dan asbab al wurud serta metode tafsir dan hadits.
2.      Pendekatan Empiris innntinya berusaha mengkaji atau menyelidiki kasusu-kasus yang terjadi di masyarakat. yaitu untuk menemukan teori baru atau mengembangkan teori yang sudah ada.
3.      Pendekatan filosofis intinya berusaha mengkaji pemikiran para ulama atau pakar dakwah meleluai tulisan/karyanya.[4]

C.    Model-Model Epistemologi
Terdapat beberapa model epistemologi dalam islam. Diantaranya yaitu epistemologi bayani, epistemologi irfani dan epistemologi burhani. Ketiganya memiliki penjabaran tersendiri terkait hal tersebut. Berikut adalah penjabaran dari masing-masing model epistemologi:
1.      Epistemologi Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidaklangsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
2.      Epistemologi Irfani.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak yaitu :
a. Taubat
b.Wara`, menjauhkan diri dari segala sesuatu yangsubhât,
c. Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
d.                    Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt
e. Sabar, menerimasegala bencana dengan laku sopan dan rela.
f. Tawakkal, percayaatas segala apa yang ditentukan-Nya.
g.Ridla, hilangnya rasaketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui.Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut,keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalahk esadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.

Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara I`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi (penyepadanan) makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.15 ke dua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M).16 Karena itu, menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran.
3.      Epistemologi Burhani
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Tiga epistemologi Islam ini mempunyai ‘basis’ dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang burhani pada rasio. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespondan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu mengungkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta. Misalnya, burhani tidak mampu menjelaskan seluruh eksistensi diluar pikiran seperti soal warna, bau, rasa atau bayangan.[5]
Ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah pemahaman. Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'Shalih li Kulli Zaman wa Makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmu-ilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam kedepan.

D.    Kpntribusi Epistemologi dan Metode Keilmuan Dakwah
Kontribusi epistemologi terhadap pengembangan ilmudakwah, khususnya dalam pengembangan kurikulum yang berorientasi kebenaranfilsafat, kebenaran epistemoligik dan kebenaran wahyu yaitu sebagai berikut
1. Kontribusi ilmu pengetahuan Yunani ditekankan pada aspek ontologi yang hendak mengejar kebenaran substantif dan spekulatif, baik dalam kognisi maupun realitas inderawi. Di sini memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif dalam pengembangan matakuliah pada Fakultas Dakwah, seperti Filsafat Umum dan Filsafat Ilmu;
2. Kontribusi ilmu pengetahuan Barat modern ditekankan pada proses epistemologi atau metode ilmiah yang dilewati sebagai sarana mencapai kebenaran. Di sini melahirkan pengetahuan-pengetahuan berdasarkan kebenaran epistemologik, seperti matakuliah bidang komunikasi, sosiologi, manajemen, metodologi penelitian, psikologi, konseling, psikoterapi dan kesehatan mental. Matakuliah-matakuliah ini berdasarkan epistemologi Barat modern kemudian diambil untuk pengembangan ilmu dakwah.
3. Kontribusi ilmu pengetahuan di dunia Islam ditekankan pada aspek aksiologi yang berfungsi sebagai landasan dalam mengkonstruksi fakta. Islam tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai, seperti yang terjadi di Barat. Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agamawi yang mengakui eksistensi Allah, tidak hanya sebatas keyakinan semata, tetapi diterapkan dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Di sini melahirkan pengetahuan berdasarkan kebenaran wahyu dalam pengembangan kurikulum ilmu dakwah, seperti Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ilmu Fiqh dan Ilmu Dakwah dan sebagainya. [6]
Salah satu persoalan penting yang berhubungan dengan epistemologi ilmu dakwah adalah persoalan metode keilmuan dakwah. Dalam menghadapi persoalan ini, ilmu sosial , memiliki metode ilmiah tersendiri yang berbeda satu dengan lain.
Secara teknis metode ilmiah mempunyai langkah-langkah observasi dan diskripsi. Hubungan antara teks, da’i dan mad’u serta tujuan dakwah dalam metode keilmuan dakwah dapat digambarkan sebagai berikut:














BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
         Epistemologi ilmu dakwah adalah usaha seseorang untuk menelaah masalah-masalah, objectivitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan dakwah sebagai subyak bahasan (titik tolak berfikir). Landasan epistemologi ilmu dakwah terdiri dari firman Allah yang terdapat pada Al- Quran dan Sunah. Terdapat model-model epistemologi islam yaitu epistemologi bayani, irfani dan burhani. Dalam epistemologi terdapat kontribusi dan model keilmuan yang dapat kita ambil dan pelajari.

B.     Kritik dan Saran
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah kami kedepannya.Semoga dengan makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat membangun dan mendorong para mahasiswa atau mahasiswi untuk berfikir aktif dan kreatif.












DAFTAR PUSTAKA
Hamlyn, D. W. 1972. History of Epistemology, dalam: Encyclopedia of Philosophy. New York: Mac Millan.
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami bahasa agama: sebuah kajian ilmu Heurmeneutik. Jakarta: Paramadina.
Hardi, Hardono. 1994. Epistimologi: Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.


[1] Hamlyn, D. W., History of Epistemology, dalam : Encyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edward (New york:   Mac Millan, 1972), hlm. 8-9
[2] Komaruddin Hidayat, Memahami bahasa agama : sebuah kajian ilmu Heurmeneutik (jakarta: paramadina, 1996)hlm.208
[3] Hardono Hardi, Epistimologi : filsafat pengetahuan, (Yogyakarta: kanisius, 1994), hlm. 5

No comments:

Post a Comment

Contoh Analisis SWOT dalam Warung Makan Sederhana

  Sejarah Warung Makan Mbak Tik ( Misfikhotul Murdayanti ) Nama pemilik usaha warung makan ini yaitu lebih kerabnya dipanggil dengan pangg...